RARAS WURI MISWANDARU`S BLOG
Walau Aku dibenci karena kegiatan dakwah dan pendidikan yang Kujalankan, Insya allah akan tetap berjalan.
PENDIDIKAN DINIYAH NON FORMAL
Pendidikan Diniyah Non Formal (SHIDIQIIN WARA`) pertama didirikan oleh Kyai Muhammad Syechan Tahun 1975 diteruskan oleh Suharto AMd dan dilanjutkan Oleh Raras Wuri Miswandaru, SPdI.
PENDIDIKAN DINIYAH FORMAL
Pendidikan Diniyah Formal Merupakan Pelopor pertama dan Satu-satunya di Indonesia yang dilaksanakan di Emper Masjid belum punya gedung sendiri.
Rabu, 01 Juni 2016
Landasan Pendidikan Inklusi
6/01/2016 08:02:00 PM
simbah wuri
No comments
Landasan Pendidikan Inklusi
Ada empat landasan yang harus dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Keempat landasan tersebut antara lain landasan filosofis, landasan
religi, landasan historis, dan landasan yuridis.
1.
Landasan Filosofis
Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, begitu pula
halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan atau filosofi
sendiri, maka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif harus diletakkan atas
dasar pandangan hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri.
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah
Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi
yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai
wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horisontal,
yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi.
Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya.
Sedangkan kebinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras,
bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.
Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi
ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi
dengan saling membutuhkan. Filosofi Bhinneka Tunggal Ika meyakini bahwa di
dalam diri manusia bersemayam potensi yang bila dikembangkan melalui pendidikan
yang baik dan benar dapat berkembang hingga hampir tak terbatas. Bertolak dari
perbedaan antar manusia, filosofi ini meyakini adanya potensi unggul yang
tersembunyi dalam diri individu apabila dikembangkan secara optimal dan
terintegrasi dengan semua potensi kemanusiaan lainnya dapat menghasilkan suatu
kinerja profesional.
Tugas pendidikan adalah menemukan dan mengenali potensi unggul yang tersembunyi
yang terdapat dalam diri setiap individu peserta didik untuk dikembangkan
hingga derajat yang optimal sebagai bekal manusia beribadah kepada Tuhan.
Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk
memberdayakan semua potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif,
afektif, dan intuitif secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan kekurangan
adalah suatu bentuk kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya,
dan sebagainya. Di dalam individu dengan segala keterbatasan dan kelebihan, di
mana yang memiliki keterbatasan sering bersemayam keunggulan, dan di dalam diri
individu yang memiliki keunggulan sering bersemayam keterbatasan. Dengan
demikian keunggulan dan keterbatasan tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk
memisahkan peserta didik yang memiliki keterbatasan atau keunggulan dari
pergaulannya dengan peserta didik lainnya, karena pergaulan antara mereka akan
memungkinkan terjadi saling belajar tentang perilaku dan pengalaman.
2.
Landasan Religi
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa hakikat manusia
adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual differences). Tuhan
menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan maksud agar dapat saling
berhubungan dalam rangka saling membutuhkan (QS. AlHujurat 49:13). Adanya siswa
yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah manifestasi
dari hakikat manusia sebagai individual differences tersebut. Interaksi manusia
harus dikaitkan dengan upaya pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar
manusia, yaitu kooperatif dan kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2&48). Begitu
pula dengan pendidika, yang juga harus menggunakan keduanya dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa
ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia.
Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat menggunakan nalar
belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena sumber
kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan
religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam pemanfaatan
hasil-hasil penelitian sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya
untuk penyelenggaran pendidikan.
3.
Landasan Historis
Masa-masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh tak acuh bahkan
menganggap sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang memiliki ketidakmampuan
(disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161). Di satu sisi, hal ini
terjadi karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu melahirkan anak cacat merupakan
hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu, harus
dihindari, penolakan itu juga terjadi karena takut tertular.
Namun dilain sisi penolakan itu terjadi karena perjuangan untuk bertahan hidup.
Anggota kelompok yang terlalu lemah dan tidak berkontribusi terhadap kelangsungan
hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya. Mereka sering kali tidak
diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh kasih saying dan kontak sosial
yang bermakna. Mereka kesepian, terasing dari kelompok sosialnya dan merasa
tidak berguna. Mereka yang berbeda karena kecacatannya akan dikurung atau
dibiarkan mati (Skjorten, 2001).
Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa ini, muncul seorang
fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai mendobrak paradigma lama
dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional lebih merupakan kekuatan
natural daripada kekuatan supra natural sebagaimana yang selama ini diyakini.
Lebih tegas lagi pada tahun 427-347 SM, Plato, seorang filosof besar Yunani,
yang merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil secara
mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka.
Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam
abad pertengahan. Dimana dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious
yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal bagi mereka yang diabaikan oleh
keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161).
Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa transisi). Dalam abad ini,
masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang mengalami ketidakmampuan tertentu.
Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa setiap orang dapat belajar jika diberi
stimulus secara tepat. Dengan demikian, sejak abad sembilan belas di Amerika
Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka yang buta dan tuli (Olsen&Fuller,
2003:162).
Dalam abad keduapuluhan, muncul berbagai pernyataan dan kesepakatan internasional
berkaitan dengan hak manusia. Misalnya saja pada tahun 1948 ada Deklarasi Hak
Asasi Manusia, termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat
untuk semua orang; pada tahun 1989 ada Konvensi PBB tentang Hak Anak; pada
tahun 1990 ada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien,
Thailand, yang menghasilkan tujuan utama untuk membawa semua anak masuk sekolah
dan memberikan semua anak pendidikan yang sesuai; tahun 1993dicetuskan
Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, oleh PBB,
yang diumumkan tahun 1994 (Skjorten, 2001).
Pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena selama jangka waktu yang
cukup lama, para siswa penyandang cacat dididik secara ekslusif (Watterdal, 2002).
Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan sebagai orang-orang yang bukan
merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya, masyarakat umum masih merasa aneh
dengan kehadiran mereka. Tidak hanya itu, penggunaan sistem integrasi yang
telah diterapkan dulu juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi
mengandung makna bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah
reguler setelah anak tersebut mengikuti kelas khusus dan dianggap siap untuk
mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya, di sana mereka sering
ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan
pengetahuannya bukan menurut usianya. Misalnya kita dapat menemukan anak berusia
12 tahun berada di kelas satu.
Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak
dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus
untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Di mana semua anak (atau orang
dewasa) adalah anggota kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi satu
sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi, saling
mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan bahwa anak (atau orang
dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan mayoritas dan
kadang-kadang akan melakukan hal yang berbeda. Dan hal itu dikukuhkan dengan
adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO pada 1994.
4.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, undangundang,
peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan
direktur, hingga peraturan sekolah. Juga melibatkan kesepakatankesepakatan
internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di
Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar pendidikan di seluruh
dunia dilaksanakan secara inklusif. Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan
bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for all), tidak peduli
orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak
membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus sedapat mungkin dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam
bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk
keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak
berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan
anak-anak lain pada umumnya.
Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut: Instrumen Internasional
a.
1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
b.
1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
c.
1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk
Semua (Jomtien)
d.
1993: Peraturan Standar tentang Persamaan
Kesempatan bagi para Penyandang Cacat
e.
1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi
tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
f.
1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
g.
2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia
(Dakar)
h.
2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus
pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan
i.
2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan
Kecacatan
Instrumen Nasional
a.
UUD 1945 (amandemen) pasal 31
b.
UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat
(3), 45 ayat (1), 51, 52, 53.
c.
UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
pasal 5
d.
Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju
Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus 2004
e.
Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun
2005
f.
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor
380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan
inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewaPONPES SHIDIQIIN WARA` PURWOJATI
Sholawat_Badar-Puput_Novel-TOPGAN
Blogger templates
href="http://www.yayasangurungajiindonesia.com" ' rel='canonical'/>>