Raras Wuri Miswandaru
PUASA RAMADHAN DALAM SYARIAT
DAN TAREKAT - 1
OLEH RARAS WURI M, MPD
Bismillah, alkhamdulillah washolatu
wasalamu `alaa rasulillah, lakhaula walaa quwwata illa billah. Amma ba`du
Perintah Puasa: "Wahai
orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang sebelum kamu *agar kamu
bertakwa*." (Surat Al Baqarah ayat 183)
*Tujuan Puasa adalah agar
kita “bertakwa”* Sedangkan
arti takwa menurut beberapa ahli ada beberapa pengertian berdasarkan al-Quran.
Menurut Imam al Ghazali, ada arti: (1) arti al-khasyyah
wa al-haibah (takut), seperti diisyaratkat dalam al-Quran surat al-Baqarah
[2]: 41; (2) makna al-tha‟ah wa al-ibadah
(taat dan beribadah). Arti seperti ini dapat dirujuki dalam Alquran surat Āli
„Imrān [3]: 102; (3) kata tanzih al-qalb
„an al-dzunub (membersihkan hati dari dosa). Inilah hakikat takwa, seperti
firman Allah dalam Alquran surat al-Nūr [24]: 52
Takwa menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Takwa
adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah
karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya
(petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya. Tidaklah seseorang dikatakan
mendekatkan diri pada Allah selain
dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah.
Allah Ta’ala berfirman, “Tidaklah seorang
hamba mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Aku cintai. Dan
hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku
mencintainya.” Ini hadits shahih disebut juga hadits qudsi diriwayatkan
oleh Imam Bukhari.” (Al Majmu’ Al Fatawa, 10: 433)
Perrintah Allah agar kita menjadi orang bertakwa
sangat tegas, yaitu pada Al-Quran Surah al-Imran ayat 102 yaitu: Hai
orang-orang yang beriman
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Adapun syarat utama agar kita dapat disebut menjadi
orang bertakwa maka cukup banyak dalil yang mengaturnya. Cirii orang bertakwa
(dan beriman) disebutkan dalam ayat-ayat al Quran diantaranya pada QS al
Baqarah (20); 2-5, 177 ; QS: Āli „Imrān, [3]: 15-17, 133-135 dan lainnya.
Syarat puasa kita diterima maka harus mensucikan niat.
Niat menjadi faktor utama dalam menentukan kualitas amal puasa. Seluruh yang
berkaitan dengan amal maka akan tergantung pada niatnya. Niat puasa adalah
untuk mencapai ketakwaan yang dilaksanakan dengan ikhlas kepada Allah. Puasa
yang diniatkan semurni-murninya untuk tujuan bertakwa maka allah akan
memberikan karunia berupa kekuatan sikap “al furqan”. Artinya, orang yang puasa
dengan tujuan menjadi orang bertakwa maka orang tersebut dikuatkan hati,
fikiran dan akidahnya bisa membedakan mana yang haq dan yang batil. Sebagaimana
duema Allah dalam al Quran surat Al-Anfal
ayat 29: Hai orang-orang
yang beriman, jika
kamu bertakwa kepada Allah, kami akan memberikan furqan. Dan
kami akan jauhkan
dirimu dar
kesalahan-kesalahanmu, dan mengampunimu. Dan Allah mempunyai
karunia besar
Sedangkan amal puasa bukan hanya mencegah makan dan
minum tetapi yang terpenting dari dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa dan
Nafsu merupakan perkara berbeda, Begitu pula Menurut Kyai Muhammad Syechan
bahwa hawa adalah dorongan (hawa) dan nafsu (ego atau konsepsi individu tentang dirinya sendiri). Hawa nafsu bukan dimusuhi tetapi harus dikendalikan.
Orang yang puasa bisa mengendalikan hawa nafsunya maka dia pada hakikatnya telah memahami dari tujuan
puasa. Adapun orang sudah ahli dalam mengendalikan hawa nafsunya dalam segala
hal, termasuk saat dirinya sedang beribadah mahdhah (sholat) atau berdzikir
yang dilakukan khusyuk, maka yang diinginkan hanya satu yaitu merasa dekatnya
dengan Tuhan. Bahkan dirinya sampai pada keyakinannya bahwa Allah telah
dikenalnya dengan baik dan selainnya tidak dikenal dan tidak diingat maka pada
tataran tersebut orang tersebut pada masuk tahapan akhir yaitu ma`rifat.
Perintah puasa jangan hanya dipahami secara syariat
saja, apabila kita hanya melakukan sesuai syariat maka puasa kita akan sia-sia.
Kewajiban Puasa (asal kata shaum = menahan) apabila hanya dilaksanakan sesuai syariat, maka apabila telah
menentukan niat puasa dan menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan,
minum dan lainnya) dari terbit fajar sampai terbenam matahari, maka orang
tersebut sah puasanya, Kalau cuma itu yang menjadi landasannya maka puasa sah
namun hanya mendapatkan lapar dan haus saja, esensi tujuan puasa tidak akan
pernah tercapai. Artinya menjalankan puasa Ramadhan (proses penentuan 1
Ramadhan dan ibadah selama berpuasa) bukan cuma harus sesuai syariat Islam saja
tapi lebih dari yaitu harus juga di “murodhi” perintahnya. Jadi bukan hanya
syariat (syariat sering jadi perpecahan misal metode hisab dan rukyat)yang
harus diperhatikan dalam menjalankan ibadah puasa tetapi hakikatnya harus tercapai
Syarat utama untuk melakukan puasa agar tujuan puasa
bisa tercapai adalah dengan iman, oleh karena itu, perintah puasa ditujukan
dengan kepada orang-orang yang beriman. Apakah kita sudah termasuk oraang
beriman ketika sudah menjalankan puasa? Belum tentu. Iman itu harus masuk ke
dalam hati (qalb) kita. Walau kita mengucapkan ribuan kali dalam sehari bahwa
saya beriman hal itupun belum tentu kita termasuk orang beriman, karena iman
itu “anugerah Allah” bukan pengakuan (lihat al Quran surat Yunus: 100). Pengakuan
bahwa kita telah beriman bisa saja ditolak oleh Allah sebagaimana firman Allah
dalam QS. Al Hujurat (49): 14, yang artinya: “orang-orang Arab itu berkata:
“Kami Telah Beriman”. Katakanlah: “kamu belum beriman”, tapi katakanlah “kami telah
tunduk” karena “al Iman” itu belum masuk kedalam hati (qalb)-mu.
Hakikat perintah puasa harus dipahami secara
menyeluruh/holistik (kaffah) bukan parsial atau sebagian-sebagian, misalnya
dari tinjauan syariat saja. Menjalankan perintah agama harus dilakukan secara kaffah
mencakup isi perintah dan maksud perintah tersebut. Sebagai contoh: Aurat orang
laki-laki adalah dari pusar sampai lutut. Ada seorang yang masuk masjid dengan
memakai pakaian seperti itu (hanya menutupi pusar sampai ke lutut) lalu menjadi
imam sholat, apakah kita akan ikut menjadi makmum? Tentunya kita tidak akan mau
menjadi makmumnya. Padahal menutup auratnya sudah sesuai syariat maka tentunya dia
sah untuk sholat seperti itu. Salah satu syarat sahnya sholat adalah menutup
aurat. Jadi kalau ada orang yang jadi
imam dengan pakaian hanya menutupi aurat tentunya sah sholatnya tidak harus
memaka baju tetapi tidak berkhlaq tentunya.
Contoh lain lagi, Seperti yang disampaikan KH Suharto
di Masjid al Rukiyah Purwojati pada kajian pra Sholat Jumat tanggal 22 Maret
2022. Menurut KH. Suharto, bahwa orang memasuki bukan Ramadhan itu harus suci
lahir batinnya sehingga perlu dipersiapkan diri kita untuk memasuki ibadah
bulan Ramadhan, diantara persiapannya adalah mandi suci dan bertaubat dan
saling maaf memaafkan karena memasuki bulan suci, walaupun itu tidak ada
syariatnya. Lebih lanjut menurut perumpamannya, yaitu Apabila ada orang yang
dari sawah badan dan pakaian kotor (lumpur itu suci) masuk dalam masjid yang
penuh jamaah apakah tidak akan dimarahi oleh jamaah yang lain. Karena memasuki
tempat yang suci begitu pula waktu suci di bulan Ramadhan ini maka badan dan
jiwa kita harus dibersihkan dan dicuscikan. Jadi berdasarkan kajiannya,
menjalankan Ibadah puasa bukan hanya memenuhi syarat syariat saja tetapi harus
ada etika diri (akhlaq) dalam beribadah menjalankan perintah (bertasawuf).
Menurut thariqah atau biasa dusebut tarekat (thariqah
dimaksud disini bukan sebagai organisasi tetapi sebagai “metode atau cara
beribadah” atau dalam bahasa Inggris “path”)
bahwa puasa harus bisa mengendalikan seluruh hawa nafsu agar akhirnya bisa
memiliki akhlaq mulia terutama agar berjiwa mutmainah. Apabila jiwa mutmainah
tercapai dalam diri kita maka kita akan sangat merindukan bertemu dengan Allah.
Bertemu dengan Allah tentunya harus melalui mati terlebih dahulu. Jiwa-jiwa
mutmainah tersebut yang dengan suka rela dan diridhoi oleh Allah dalam kembali
pada-Nya. Sebagaimana QS AL Fajr ayat 27-30: yang artinya: “ Wahai Jiwa yang
Mutmainah (tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati suka rela (puas) dan
diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam hamba-hmba-Ku (terpilih) dan masuklah
kedalam surge-Ku.
Purwojati,
2 April 2022/1 Ramadhan 1443 H
Penyusun,
Raras
Wuri M, M.Pd.