Ungkapan ‘media darling’ sering hadir di depan kita melalui tulisan-tulisan di media cetak, atau ungkapan di media elektronik. Media darling sendiri berarti seseorang yang populer di mata media, atau disukai oleh media (somebody popular with media); atau seseorang, perusahaan, yang aktifitasnya ter-cover secara luas oleh media massa (a well-known and popular person or company, whose activities are widely covered by the mass media).[1] Tulisan ini mencoba untuk melihat sisi lain dari ungkapanmedia darling ini. Dengan ‘menunda’ lebih dahulu segala yang dilekatkan pada ungkapan media darling ini, atau yang sedang nampak ‘dipraktekkan’, akan dicoba dilihat lebih dalam apakah dibalik ungkapan itu ada hal-hal yang perlu kita perhatikan bersama.
Menurut Carl Schmitt, semua konsep-konsep yang signifikan dari teori modern negara adalah sekularisasi dari konsep-konsep teologi. Hal ini tidak hanya karena dari perkembangan historis mereka saja – dimana mereka melakukan transformasi dari teologi ke teori dari negara, misalnya, kemahakuasaan Tuhan menjadi kemahakuasaan hukum –tetapi juga karena dari struktur sistemik mereka, dimana pengakuan diperlukan untuk kesepakatan sosiologis dari konsep-konsep ini. Contoh lain, pengecualian dalam yuriprudensi adalah kemudian analog dengan mukjijat dalam teologi.[2] Juga misalnya, dalam banyak kesempatan sering kita mendengar ungkapan bahwa seorang hakim adalah ‘wakil Tuhan’. Untuk memperjelas ini, Schmitt mengutip pendapat Leibniz yang menurutnya dapat mengekspresikan ini secara jelas:
“We have deservedly transferred the model of our division from theology to jurisprudence because the similarity of these two diciplines is astonishing.”[3]
Demikian juga Hans Kelsen dalam karya terakhirnya tentang sosiologi dan hukum, menurut Schmitt, memberikan banyak analogi antara teologi dan yuriprudensi.[4]
Dengan perjalanan historis yang semacam ini, maka godaan untuk memutlakkan sesuatu yang sebenarnya itu merupakan ranah sosial, secara potensial bisa dikatakan cukup besar. Entah itu disadari atau tidak. Memutlakkan hal sosial itu bisa terjadi ketika hal tersebut kemudian dihayati sebagai pengejawantahan langsung dari Yang Mahakuasa, dalam pengertian teologis. Termasuk juga jika itu ada dalam sebuah relasi kekuasaan.
Media massa, dari sejak ditemukannya mesin cetak massal oleh Johann Guttenberg, semakin lama semakin lekat dengan relasi kekuasaan. Bahkan jika pun era manuskrip sebelum Guttenberg kita coba masukkan dalam pembicaraan ini. Dalam dunia politik di era informasi ini, opini publik seperti yang disebut oleh Jose Ortega y Gasset: ”dalam sejarah perpolitikan, hukum opini publik itu adalah hukum gravitasi yang universal”,[5] menjadi seakan tidak lepas dari peran media. Hal ini juga ditegaskan oleh Manuel Castells,
”Media politics is not all politics, but all politics must go through the media to affect decision-making”[6]
Politik media memang bukan keseluruhan politik, tetapi semua politik mesti melalui media untuk berpengaruh pada satu pembuatan keputusan, dan di sini juga termasuk bagaimana si-pemegang suara -rakyat, membuat keputusan memilih si A atau si B. Castells tidak bermaksud mengatakan bahwa politik media adalah merupakan keseluruhan politik. Yang ingin ditekankan oleh Castells adalah peran media dalam politik terkait dengan upaya mempengaruhi massa atau pembuatan suatu keputusan politik. Sebuah batas yang sebenarnya cukup jelas dipaparkan oleh Castells. Masalahnya adalah, godaan pemutlakan seperti disebut di atas. Media kemudian bisa didorong untuk menjadi keseluruhan politik. Atau keseluruhan politik didorong untuk dihayati semata melalui media. Media kemudian menjadi penentu politik. Media menjadi ‘tuhan’nya politik. Tuhan yang dalam hal ini bisa saja kemudian dihayati dalam pengertian teologis, yang mempunyai hak penuh untuk memilih tanpa ada yang bisa dan boleh menggugatnya. Termasuk kepada siapa yang akan dipilih menjadi ‘darling’nya.
***
Pertanyaan berikut adalah, dari mana asal atau titik pangkal dari proses pemutlakan itu? ‘Membongkar Politik, Menyelami Manusia’, demikian subjudul buku Ito Prajna-Nugroho, Fenomenologi Politik.[7] Atau bisa dikatakan di sini, dengan menyelami ke kedalaman dan keluasan manusia, kita mungkin saja bisa membongkar politik, dalam konteks tulisan ini, ‘politik pemutlakan’ itu. Sebagai ungkapan kelihatannya ini adalah mudah untuk dilakukan, tetapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Mengapa? Karena kita sudah sangat terbiasa dengan segala yang disebut dengan prosedur, atau sistem, atau yang sering tampil di media misalnya, grafik naik-turunnya popularitas. Lupa akan ada-nya manusia di dunia ini. Lupa bahwa ada-nya manusia di dunia inilah yang akhirnya memungkinkan apa yang disebut dengan politik itu ada.
Atau lebih luas lagi, kita terlalu lama melupakan sesuatu yang memungkinkan apa yang kita lihat, yang kita dengar, kita rasakan, hadir di depan kita setiap harinya. Yang jika sesuatu itu lenyap, pada dasarnya lenyap juga segala kehadiran itu, termasuk juga kita sebagai manusia. Menyelami manusia sebenarnya adalah bagian kecil untuk memahami, atau mendekatkan diri dari sesuatu itu. Sesuatu yang sebenarnya pastilah lebih kaya dari apa yang kita lihat, yang kita dengar, kita rasakan. Sesuatu dimana dunia segala kemungkinan bersemayam di dalamnya. Maka sebenarnya, ketika kemungkinan atau posibilitas itu semakin terkuak ketika manusia diselami ke kedalaman dan keluasannya, pada saat itu juga sebenarnya segala pemutlakan terhadap apa yang dibangun manusia bisa dipertanyakan. Inilah mengapa ‘pemutlakan politik’ seperti disebut di atas bisa kita persoalankan, bisa kita bongkar ketika kita menyelami manusia, yang pada titik tertentu dengan itu kita menemukan arus kemungkinan yang tiada henti.
Menurut Heidegger, manusia telah terlempar dalam dunia segala kemungkinan itu. Dunia segala kemungkinan yang mana bisa kita coba pahami melalui keterlemparan manusia di dalamnya. Pada saat yang sama adanya manusia di dunia segala kemungkinan itu, manusia segera juga dihadapkan pada kemungkinan ke-tidak-adaannya dia dalam dunia itu, yaitu saat kematian menjemput dirinya. Ketika kematian datang, dunia juga lenyap bagi yang mati. Dia tidak bisa lagi memaknai adanya dia di dunia. Situasi ini kemudian bisa dimengerti mengapa kemudian bisa dikatakan, manusia hidup pada dasarnya adalah menuju ke-kematiannya. Yang menjadi masalah di sini adalah kemudian bukan kematian itu sendiri, tetapi apa yang dilakukan manusia dalam perjalanan hidup yang menuju kematian itu? Pada titik inilah kita bisa semakin memahami apa yang disebut sebagai upaya mempertahankan dan melangsungkan hidup itu. Dan di sinilah kita bisa menemukan gejolak energi yang tidak pernah padam, hasrat. Hasrat untuk mempertahankan dan melangsungkan hidup.
Sejak jaman dulu masalah hasrat tidak pernah lepas dalam perjalanan hidup manusia. Platon misalnya, menggambarkannya dengan metafora kuda hitam dan kuda putih beserta saisnya. Demikian juga Thomas Hobbes dalam Leviathan yang terbit sekitar dua ribu tahun setelah Platon. Juga Adam Smith dalam The Wealth of Nations dan The Theory of Moral Sentiment, yang dalam edisi terakhirnya Adam Smith mengintrodusir istilah ‘sekte agung’ atau ‘famous sect’ sebagai bagian dari ‘mengelola’ hasrat yang bisa bergejolak liar. Baron Montesquieu dengan trias politika-nya, bukankah ia sedang bicara hasrat juga? Atau yang secara terang-terangan pada jamannya, Machiavelli. Dan banyak lagi. Dari hasrat yang ‘dikutuk’ sampai hasrat kemudian dipahami sebagai ‘bagian normal’ yang harus dikelola bersama.
Jika apa yang disebut Carl Schmitt pada bagian pertama tulisan ini benar, yaitu teori politik modern tentang negara adalah merupakan sekularisasi dari teologi, maka bisa dikatakan juga disini bahwa ada jejak-jejak teologi dalam teori-teori modern tentang negara tersebut. Tentang relasi-relasi kekuasaan. Dan bagaimana jika ‘jejak-jejak’ itu kemudian bersekutu dengan hasrat secara ‘maniatik’? Salah satunya mungkin, media yang sekarang sudah ‘dibaptis’ sebagai salah satu faktor penting dalam relasi kekuasaan, bisa bermetamorfosis sebagai layaknya ‘tuhan’. Atau mengajukan klaim atasnya. Termasuk hak untuk menentukan, siapa yang menjadi ‘darling’nya dan siapa yang tidak. Tidak ada kemungkinan lain. Dan apa konsekuensinya jika adanya kemungkinan itu sampai pada tahap diingkari?
Ketika adanya kemungkinan diingkari, pada dasarnya itu juga berarti pengingkaran terhadap apa yang telah menjadi dasar ada-nya, termasuk ada-nya media itu sendiri. Maka ketika ‘pemutlakan politik’ terjadi, juga dalam konteks tulisan ini ‘pemutlakan politik media’ atau media mengklaim diri sebagai ‘tuhan’, sebenarnya ke-tanpa-dasar-an telah menyelusup dalam kehidupan kita. Ke-tanpa-dasar-an yang berkembang justru ketika kemungkinan diingkari. Bagaimana kita semestinya bersikap menghadapi ini semua? Satu pendapat Carl Schimitt kiranya bisa menjadi titik berangkat di sini, sovereign is he who decides on the exception.[8] *** (7/8/2013)
[1] http://mediadarlingpr.com/media-darling-definition/
[2] Schmitt, Carl, Political Theology. Four Chapters on the Concept of Sovereignty, Transl. by George Schwab, The MIT Press, 1955, hlm. 36
[3] Ibid, hlm. 37
[4] Ibid, hlm. 40-41
[5] Gasset, Jose Ortega, Pemberontakan Massa, Bodhidarma Pustaka, hlm. 139
[6] Castells, Manuel, The Power Identity, Blackwell Publisher, 1997, hlm. 317
[7] Ito Prajna-Nugroho, Fenomenologi Politik. Membongkar Politik Menyelami Manusia, Penerbit Sanggar Pembasisan Pancasila, Purworejo, 2013
[8] “Kedaulatan adalah siapa yang membuat keputusan dalam situasi kedaruratan” dalam, Carl Schmitt, Political Theology, Transl. by George Schwab, The MIT Press, 1955, hlm. 5
0 komentar:
Posting Komentar
Akan bijak bila memberi komentar bukan spam