PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya.
Keberadaan lembaga ini sangat menjamur dimasyarakat karena merupakan sebuah kebutuhan pendidikan anak-anak pra dewasa. Apalah lagi sudah memiliku legalitas dari pemerintah melalui perundang-undangannya. Kelegalitasan ini menuntut Madrasah Diniyah untuk memiliki kurikulum yang mendukung, keadminitrasian yang mapan serta managemen yang professional.
Dalam makalah ini penulis akan mengupas sedikit tentang keadministrasikan, kurikulum madrasah diniyah yang insya Allah akan membentuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga madrasah ini.
1.2 Batasan Masalah
Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa permasalahan muncul adalah.
1. Bagaimanakah kurikulum yang digunakan di Madrasah Diniyah ?
2. Bagaimanakah tahapan keadministrasian Madrasah Diniyah hingga terkesan ketinggalan zaman ?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mempelajari kurikulum dan keadministrasian Madrasah Diniyah.
2. Mengetahui bagaimana menjadikan Madarah Diniyah yang ideal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Madrasah Diniyah
Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan namasorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.
Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagailembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.
Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat,pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.
2.2.Ciri-ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
2. Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.
2.3.Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.
Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.
Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
1. Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”.
Dalam program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.
Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.
Kurikulum Madrasah Diniyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat/Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.
2.4.Administrasi Madrasah Diniyah
Administrasi Madrasah Diniyah ialah segala usaha bersama untuk mendayagunkan sumber-sumber, baik personil maupun materil secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di Madrasah Diniyah secara optimal.
2.4.1. Prinsip Umum Administrasi Madrasah Diniyah
1. bersifat praktis, dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi nyata di madrasah DIniyah.
2. Berfungsi sebagai sumber informasi bagi peningkatan pengelolaan pendidikan dan proses belajar mengajar.
3. Dilaksanakan dengan suatu system mekanisme kerja yang menunjang realisasi pelaksanaan kurikulum.
2.4.2. Ruang Lingkup
1. Secara makro administrasi pendidikan di Madrasah Diniyah mencakup :
1. kurikulum
2. Warga belajar
3. Ketenagaan
4. Keuangan
5. Saran/prasarana/gedung dan perlengkapan lainnya
6. Hubungan kerjasama dengan masyarakat
2. Dilihat dari Proses kegiatan pengelolaan dan perlengkapan, maka administrasi pendidikan mencakup :
1. Kegiatan merencakanan (planning)
2. Kegiatan mengorganisasikan (Organizing)
3. Kegiatan mengarahkan (Directing)
4. Kegiatan Mengkoordinasikan (Coordinating)
5. Kegiatan mengawasi (Controling), dan
6. Kegiatan evaluasi
2.4.3. Peranan Pimpinan
Dalam pelaksanaan administrasi termasuk administrasi pendidikn diperlukan seorang pimpinan yang berpandangan luas dan berkemampuan, baik dilihat dari segi pengetahuan, keterampilan maupun dari sikap.
Hal ini diperukan, karena pimpinan harus menciptakan dan melaksanakan hubungan yang baik antara :
1. Kepala madrasah dengan guru
2. Guru dengan guru
3. guru dengan penjaga madrasah
4. Kepala Madrasah, guru dan masyarakat
Dalam pengelolaan administrasi ada beberapa kegiatan yang dapat menunjang pelaksanaan kurikum diantaranya :
1. Kegiatan mengatur proses belajar mengajar
2. Kegiatan mengatur murid (warga belajar)
3. Kegiatan mengatur kepegawaian
4. Kegiatan mengatur gedung dna perlengkapan madrasah
5. Kegiatan mengatur keuangan
6. Kegiatan mengatur hubungan Madrasah dengan masyarakat.
7. Tugas serta tanggungjawab guru dan kepala madrasah
8. Mengembangkan dan menyempurnakan sejumlah instrument administrasi madrasah diniyah.
BAB III
KESIMPULAN
Madrasah diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan non formal yang memiliki peranan penting dalam pengembangan pembelajaran agama Islam. Dalam madrasah diniyah yang merupakan lembaga yang memiliki paying hokum yang legal tentunya kurikulum sudah diset oleh pemerintah yang tentu tidak secara baku. Dalam artian pelaksana pendidikan bisa mengekplorasi pembelajaran yang bersipat penyesuaian dengan lingkungannya. Penyesuaian kurikulum itu akan dilakukan pada madrasah diniyah di semua tingkatan: ula (awal), wusto (menangah), hingga ala (atas).
Dalam keadministrasian meliputi beberapa urusan diantaranya: urusan administrasi, urusab Kurikuler, Urusan kewargaan belajar, urusan saran dan prasrana, dan urusan Humas
Dalam hal keorganisasiannya meliputi Kepala Madrasah Diniyah, Wali Kelas, Guru Pembimbing, BP3, guru mata pelajaran, tenaga kependidikanlainnya.
Untuk menjadi Madrasah Diniyah yang ideal maka yang sangat diperlukan adalah memperhatikan keadministrasian yang mapan, kurikulum yang sudah dibakukan oleh pemerintah yang ditambahkan dengan ektrakulikuler yang disesuaikan dengan lingkungan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997.
Departemen Agama, Sejarah Perkembangan Madarsah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998.
Departemen Agama, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Pendidikan, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1996.
VISI dan MISI DTA MIFTAHUL ULUM RANCAMULYA
VISI :
Menjadikan peserta didik berakhlak mulia dan pada tahun 2012, DTA MIFTAHUL ULUM menjadi lembaga sebagai mitra Pemerintah dan masyarakat profesi untuk memberdayakan SDM baik bidang pendidikan, da’wah dan sosial.
MISI :
1. Mengembangkan kualitas profesionalisme kelembagaan khususnya pendidikan Agama.
2. Menjalin ukhuwah Islamiyah, antaran DTA Miftahul Ulum Rancamulya dengan masyarakat luas.
3. Menghantarkan berbagai kegiatan masyarakat yang positif dalam bidang pendidikan dan sosial.
4. Menampung aspirasi masyarakat untuk bersama-sama membangun bangsa
TUJUAN:
1. Meningkatnya SDM pengajat DTA Miftahul Ulum Rancamulya
2. Perhatian Pemerintah terhadap pendidikan keagamaan semakin serius.
4. Terwujudnya keadilah Pemerintah dalam penanganan PendidikanKeagamaan sebagai sub sistem tujuan Pendidikan Nasional.
5. Kesejahteraan pengajar DTA -Miftahul Ulum Rancamulya terangkat.
6. Mitra salur dari lembaga pengumpul zakat.
DTA Formal di Banyumas
PENDIDIKAN DINIYAH FORMAL ( BERDASAR PP.55 TAHUN 2007)
Yayasan Guru Ngaji Indonesia mulai tahun pelajaran 2008/2009 telah mencoba mendirikan pendidikan formal khususnya pendidikan diniyah formal yang berdasar Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 dan pendidikan formal umum lainnya. Pendidikan diniyah formal ini merupakan pendidikan diniyah formal yang pertama dan satu-satunya di Indonesia sampai saat ini tahun 2011. Lembaga Pendidikan Formal yang telah didirikan oleh Yayasan Guru Ngaji Indonesia baru ini hanya didirikan di Purwojati Banyumas Jawa tengah, satuan-satuan pendidikan tersebutyaitu :
1. Pendidikan Diniyah Formal :
a. Diniyah Athfal (DA) / TK Diniyah Shidiqiin Wara` Purwojati
b. Diniyah Ula (DU) /SD Diniyah Shidiqiin Wara` Purwojati
c. Diniyah Wustho (DW)/ SMP Diniyah Shidiqiin Wara` Purwojati
d. Diniyah `Ulya (`Uy)/SMK Diniyah Shidiqiin Wara` Purwojati
2. Pendidikan Formal Lainnya
a. TKIT Bawormas Purwojati Banyumas
b. SDIT Bawormas Purwojati Banyumas
c. RA Abu Mufid Cilebut Bogor
Perihal Diniyah Formal
Pendidikan diniyah formal merupakan pendidikan diniyah yang ditambah pelajaran umum khususnya matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia khsususnya untuk tingkat DU . Kelebihan Diniyah denga madrasah adalah pelajaran keagamaannya lebih diperdalam seperti pendidikan di pesantren. pendidikan diniyah ini sebetulnya untuk mengakomodasi pesantren yang mengajarkan pendidikan keagamaan tapi tidak mempunyai ijazah umum, padahal di dunia seperti sekarang ini orang sangat membutuhkan ijazah dan pelajaran umum tersebut. oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan.
tantangan dalam mendirikan Diniyah Formal
Dalam mendirikan pendidikan diniyah formal ini sangat besar tantangannya bagi pengurus YGNI Banyumas baik secara administrasi perijinan maupun kultur sosial masyarakat disekitar satuan pendidikan kami, dalam proses perijinan sangat sulit, walau sudah ada peraturan pemerintahnya tapi petunjuk teknisnya belum ada sehingga kementrian Agama kabupaten belum ada yang berani mengeluarkan ijin. sebagai pengaman atau pendaping pendidikan diniyah formal tersebut pengurus YGNI banyumas mendirikan Pendidikan Informal (home schooling) .
Dan mengenai tantangan dari sosial masyarakat, pengurusnya dimusuhi banyak orang dari berbagai golongan agama Islam. Pengurus di fitnah menjadi golongan teroris, ahli zina, sesat dan lainnya, dilancarkan oleh beberapa golongan keagamaan Islam bahkan ada yang dipimpin oleh kyai dan Al-ustadz
Pengurus mencoba bersabar menghadapi semua itu dan selalu memohon kepada Allah agar diberi pertolongan dan kemenangan atas orang-orang yang memusuhi kami, baik itu pribadi dan dakwah maupun lembaga pendidikan kami, lambat laun pertolongan allah berpihak kepada Pengurus Yayasan apa yang mereka tuduhkan tidak terbukti walau sampai saat ini mereka masih sangat memusuhinya.
Yang terpenting bagi pengurus yayasan YGNI Banyumas adalah berniat beribadah dengan ikhlas ber-dinnul Islam untuk menghidupkan Sunnah dan Khilafah Islamiyah dengan damai dan konstitusional dan semoga allah memberikan kemudahan, hidayah, dan pertolongan bagi para pengurusnya serta dimenangkan atas orang –orang yang memusuhi kami, dakwahnya,kegiatan maupun lembaga-lembaga pendidikan kami.
Diposkan oleh Miftahul Ulum Rancamulya di 19.51
STUDI ANALISA
PENGARUH PENDIDIKAN DINIYAH TAKMILIYAH AWALIYAH
TERHADAP PRESTASI MATA PELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
Anak merupakan salah satu aset yang sangat berharga bagi kedua orang tuanya (keluarga) dan juga bagi bangsa. Anak sangat berharga bagi makhluk apapun tidak terkecuali kepada manusia yang merupakan generasi penerus demi kelestarian jenis ataupun kelestarian suku bangsanya. Demikian juga dilihat dari segi sosialnya anak merupakan generasi penerus masa depan, tulang punggung negara yang menjadi penopang tegaknya suatu bangsa dan negara di dalam perkembangan dan kemajuan bangsa dan negara.
Di dalam memahami anak, kita tidak bisa terlepas dengan yang namanya lingkungan, karena anak mempunyai respon yang sangat tinggi terhadap lingkungan dimana dia berada. Maka dengan adanya lingkungan yang sangat beragam ini, menimbulkan pula karakteristik anak yang bermacam-macam.
Lingkungan yang bernuansa religi atau islami sangatlah penting. Agama menjadi sebuah pemandu yang sangat penting untuk mewujudkan suatu lingkungan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari akan pentingnya peran agama bagi umat manusia, maka internalisasi nilai-nilai agama untuk setiap individu menjadi sebiah wacana yang harus di tempuh dan diwujudkan melalui berbagai bidang terutama dalam bidang pendidikan, baik pendidikan dikeluarga, sekolah maupun pendidikan dimasyarakat.
Pendidikan Agama Islam sering diartikan secara sempit yaitu merupakan upaya melalui berbagai kegiatan belajar agar ajaran agama Islam dijadikan pedoman bagi hidupnya. Pada sisi lain secara luas seperti yang dikatakan di atas pendidikan agama Islam perlu diartikan sebagai usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah Swt. kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai kholifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah Swt.
Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam mempunyai dua aspek terpenting, yaitu :
1. aspek yang ditujukan kepada Jiwa atau pembentukan kepribadian anak.
Di dalam pendidikan agama anak disuguhkan dengan materi sejarah Nabi Muhammad yang di dalamnya terdapat pendidikan akhlak atau tingkah laku yang baik sehingga dapat membentuk kepribadian cerdas dan berakhlak mulia.
2. aspek yang ditujukan kepada pikiran yakni pengajaran agama Islam Itu sendiri.
Artinya, bahwa kepercayaan kepada Allah swt. beserta seluruh ciptaan-Nya tidak akan sempurna manakala isi makna yang dikandung oleh setiap firman-Nya (ajaran-ajaran-Nya) tidak dimengerti dan dipahami secara benar. Di sini anak didik tidak hanya sekedar diinformasikan tentang perintah dan larangan, akan tetapi Justru pada pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana beserta argumentasinya yang dapat diyakini dan diterima oleh akal.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :
1. Memperkenalkan dan mendidik anak didik agar meyakini ke-Esaan Allah swt, pencipta semesta alam beserta seluruh isinya; biasanya dimulai dengan menuntunnya mengucapkan la ilaha illallah.
2. Memperkenalkan kepada anak didik apa dan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang (hukum halal dan haram).
3. Menyuruh anak agar sejak dini dapat melaksanakan ibadah, baik ibadah yang menyangkut hablumminallah maupun ibadah yang menyangkut hablumminannas.
4. Mendidik anak didik agar mencintai Rasulullah saw, mencintai ahlu baitnya dan cinta membaca al-Qur’an.
5. Mendidk anak didik agar taat dan hormat kepada orang tua dan serta tidak merusak lingkungannya.
Namun pendidkan di sekolah-sekolah umum yang anak peroleh itu masih belum cukup (kurang). Alokasi yang deberikan kurang lebih hanya 2 x 40 menit/minggu. Walaupun di sekolah terdapat ekstra kulikuler dibidang agama namun para peminatnya kurang. Ini menjadi suatu permasalah yang sangat riskan dan harus segara diselesaikan.
Menambah jam mata pelajaran di sekolah adalah sebah solusi yang kurang bisa menyelesaikan masalah tersebut karena bila jam mata pelajaran di tambah itu akan menambah beban bagi guru bidang dan pihak lembaga pendidikan itu sendiri. Ada 3 solusi yang kiranya dapat meningkatkan prestasi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu :
1. Pembenahan kembali kualitas dan mutu materi yang diajarkan disertai dengan pembenahan sistem dan profesionalitas guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI).
2. Menambah jam pelajaran Pendidikan Agama Islam di luar jam belajar di sekolah, yaitu di lembaga nonformal yaitu Diniyah Takmiliyah Awaliyah yang biasa kita kenal dengan Madrasah Diniya (Sakola Agama).
Diniyah Takmiliyah adalah satuan Pendidikan Keagamaan Islam Non Formal yang menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam sebagai pelengkap pengajaran pada setiap jenjang pendidikan.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah ataau Diniyah Takmiliyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Diniyah Takmiliyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia khususnya Pendidikan Diniyah Takmiliyah.
Di dalama PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pasal 25 ayat 1 disebutkan bahwa Diniyah Takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT. ini menunjukkan bahwa Pendidikan Diniyah Takmiliyah adalah merupakan lembaga pendidikan urgen dalam bidang pendidikan yang diakui oleh pemerintah karena dapat membantu mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional di negara tercinta Indonesia ini.
DTA sebagai renungan
Yang terlupakan kini menjadi primadona. Sempat dianggap tidak menarik sama sekali kini menjadi perbincangan hangat. Itulah nasib “Madrasah Diniyah (sekarang, Diniyah Takmiliyah).
Dulu, DT (baca, Diniyah Takmiliyah) seolah dipandang sebelah mata, kalau tidak disebutkan tak dilirik sama sekali. DT menjadi lembaga pendidikan yang termarginalkan bahkan teralienasi oleh lembaga-lembaga pendidikan formal. Di beberapa daerah bahkan dianggap hanya membebani otak anak yang sudah cukup penat dengan banyaknya santapan mata pelajaran di sekolah.
Sekarang, kondisinya berbanding terbalik. DT menjadi sangat laris bahkan kemudian dijadikan komoditas politik. Tak sedikit issu DT menjadi bahan penarik perhatian bagi segelintir pihak untuk popularitas yang diinginkan di kancah jagad perpolitikan, terutama di daerah.
sekilas Diniyyah Takmiliah
Tak banyak dari kita yang tertarik untuk tahu bagaimana pada awalnya Diniyah Takmiliyah ini lahir di heterogenitas lembaga pendidikan di Indonesia. Namun, memahami sejarah kemudian menjadi penting paling tidak untuk memahami sisi urgensi dari eksistensi DT itu sendiri.
Diniyah Takmiliyah adalah satuan Pendidikan Keagamaan Islam Non Formal yang menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam sebagai pelengkap pengajaran pada setiap jenjang pendidikan.
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah ataau Diniyah Takmiliyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Diniyah Takmiliyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia khususnya Pendidikan Diniyah Takmiliyah.
Di dalama PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pasal 25 ayat 1 disebutkan bahwa Diniyah Takmiliyah bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT. ini menunjukkan bahwa Pendidikan Diniyah Takmiliyah adalah merupakan lembaga pendidikan urgen dalam bidang pendidikan yang diakui oleh pemerintah karena dapat membantu mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional di negara tercinta Indonesia ini.
sejauh ini, urgensi DT sangat diakui. Regulasi dan payung hukum menjadi sebuah keniscayaan baginya.
Nah, mengingat urgensi yang tak diragukan ini tentu menjadi keniscayaan pula baginya bahwa stake holder bagi DT adalah mereka yang memiliki kesungguhan dan keseriusan untuk memajukan DT tanpa maksud dan tujuan di luar memajukan dan menjunjung tinggi fitrah pendidikan juga li i’laa`i kalimaati Allah.
Tidak pantas juga jika kemudian DT dijadikan arena perebutan apalagi jika sudah dicampur-adukan dengan soal-soal politis. Kita pantas untuk melawan hal itu dan wajib memperjuangkan serta mempertahankan DT pada track yang semestinya.
(sebuah renungan yang tentu belum selesai…)
Esensi UA - DTA
Salah satu upaya peningkatan eksistensi Diniyah Takmiliyah adalah dengan menyelenggarakan ujian akhir secara serempak se Provinsi Jawa Barat. Penyelenggaraan Ujian Akhir tersebut mempunyai maksud dalam rangka lebih memunculkan keberadaan Diniyah Takmiliyah sebagai potensi lembaga pendidikan di Jawa Barat yang fenomenal, dinamis dan berbasis kekuatan masyarakat.
Selain itu, dengan penyelenggaraan yang integratif mencakup seluruh Diniyah Takmiliyah yang ada di Provinsi Jawa Barat, hasil ujian akhir dapat menjadi data primer untuk sumber analisis tentang kemajuan haasil belajar siswa pada Diniyah Takmiliyah, yang pada gilirannya dapat menjadi umpan balik untuk lahirnya upaya-upaya pembinaan yang lebih terarah dikemudian hari.
PENGELOLAAN DINIYAH
PENDAHULUAN
Diniyah Takmiliyah Awaliyah Miftahul Ulum Rancamulya Kecamatan Gabuswetan Kabupaten Indramayu diselenggarakan oleh masyarakat, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan pengelola madrasah yang dilandasi pengabdian dan ikhlas beramal tetap menyelenggrakan diniyah, karena kami sadar bahwa diniyah adalah salah satu lembaga yang menjadi harapan masyarakat untuk tetap berkiprah meningkatkan pengetahuan dan pengamalan agama Islam, pengajaran dan pendidikan agama Islam timbul secara alamiah melalui proses akulturasi yang berjalan secara halus, perlahan dan damai sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar. sejarah telah membuktikan betapa besar peran Diniyah dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat, menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah sebagai modal pembangunan dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dengan dikeluarkannya UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, maka sudah seharusnya dalam penanganan kelembagaan maupun proses pembelajarannya harus ditangani secara sungguh-sungguh dan profesional, agar Diniyah yang merupakan bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional yang termasuk dalam pendidikan keagamaan yang berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dan atau menjadi ahli agama, bisa terwujud sesuai dengan yang diharapkan.
PERANAN KEPALA DINIYAH
Faktor-faktor yang sampai saat ini menjadi penghambat Diniyah antara lain:
1. Persoanal / SDM
2. Sarana dan Prasarana
3. Finansial / Dana
4. Pembinaan
Pada umumnya kegiatan Diniyah pembelajarannya hanya bermodalkan semangat pengabdian dan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kewajiban penyebaran nilai-nilai ajaran Islam. Kualifikasi mengajar, gedung dan perlengkapan madrasah, administrasi, dana untuk imbalan, ada atau tidak ada pembinaan, semuanya tidak dijadikan pertimbangan atau syarat mutlak, tidak membuat Diniyah terhenti. Namun akibatnya terkesan penyelenggara Diniyah menjadi kurang efektif dan effesien, serta pengelolaan madrasah kurang profesional, yang berakibat kepada kurangnya dukungan dan kepercayaan masyarakat.
Kesuksesan pelaksanaan program-program yang dilaksanakan di Diniyah serta perbaikan kualitas pendidikannya semuanya sangat tergantung dari kualitas kepemimpinan kepala Diniyah. Kepala Diniyah yang tidak efektif dan efesien bisa menghalangi perubahan, membuat staf dan masyarakat tak berdaya dan menghambat perbaikan.
Kepala Diniyah yang efektif akan mempelopori perubahan, memperdayakan guru dan masyarakat dan memberikan visi juga dukungan yang dibutuhkan untuk perbaiakan, maka sebagai kepala Diniyah kami sadar akan itu sehingga pengajar di DTA Miftahul Ulum 50% (3 orang) berpendidikan strata-1, 33,3 % (2 orang) masih menempuh S-1 dan 16,7 % lulusan MTS (1 orang).perubahan jumlah peserta didikpun meningkat dari 80 Siswa pada tahun 2008 menjadi 140 Siswa (Tahun 2009), 180 Siswa ( Tahun 2010) , 230 Siswa (Tahun 2011-sekarang).
Metodologi Pengajaran Iqra
Diniyah sebagai basis terdepan dalam pendidikan agama di lingkungan masyarakat punya kewajiban untuk meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak didik, maka sebagai pembinaan dasar terhadap anak adalah menggunakan metode Iqra yaitu prinsip-prinsip tentang cara pengajaran dan pendekatan dalam memberikan bimbingan membaca dan menggunakan Iqra.
metodologi pengajarannya adalah:
1. Membaca lagsung
Maksudnya pengucapan bunyi huruf yang sudah diberi tanda baris (harakat) dengan bunyi /lafadz yang dihasilkan dari perpaduan huruf dan tanda barisnya itu, tanpa dieja, artinya tanpa didahului dengan pengenalan nama-nama huruf dan tanda-tanda baris sebagaimana dianut oleh metode lama.
2. Anak Didik Aktif.
Pesera didik diposisikan sebagai subyek atau sebagai individu yang punya potensi yang dapat dioptimalkan sendiri dengan tanpa banyak di tuntun, peran guru lebih banyak menyimak daripada menuntun.
3. Cara Privat
Dalam kegiatan belajar mengajar siswa berhadapan langsung dengan pihak guru sehingga guru menyimak satu persatu dan dapat mengetahui ketepatan dan kedisiplinan bacaan secara langsung dapat diketahui.
4. Asistensi
Yang dimaksud dengan asistensi yaitu siswa senior atau yang sudah lancar membacanya dilibatkan untuk berperan aktif memberikan bimbingan kepada siswa yang belum lancar membacanya atau siswa yang Iqranya masih dibawah siswa senior, ini diterapkan untuk mengatasi jika guru berhalangan hadir atau ada kepentingan mendadak.
4. Modulasi
Buku Iqra yang dibagi dalam 6 jilid, masing-masing jilid dibagi lagi dalam beberapa topik tertentu dengan disertai evaluasi, pembagian jilid ini merupakan modul pengajaran yang harus diselesaikan oleh siswa secara individu sehingga kenaikan prestasi masing-masing siswa akan berbeda waktu yang diperlukan untuk menamatkan buku Iqra.
Pendidikan Berdasarkan Al-Quran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sebuah pendidikan tentunya terdapat sebuah subyek, obyek dan sarana-sarana lain yang sekiranya dapat membantu terselenggaranya sebuah pendidikan. Allah SWT telah memerintahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, di dalam ayat-ayat yang jelas ini, agar dia memberikan peringatkan kepada keluarga dan sanak kerabat duli kemudian kepada seluruh umat manusia agar tidak seorang pun yang berprasangka jelek kepada nabi, keluarga dan sanak kerabatnya.
Jika dia memulai dengan memberikan peringatan kepada kelurga dan sanak kerabatnya, maka hal itu akan lebih bermanfaat dan seruannya akan lebih berhasil. Allah juga menyuruh agar bersikap tawadhu kepada pengikut-pengikut yang beriman, bersikap baik keapad mereka, dan ikut menggung kesusahan yang mereka mau menerima nasehat.
Dalam makalah ini akan sedikit membahas terkait dengan obyek Pendidikan berdasarkan Al Qur’an. Yang terkandung dalam QS At Tahrim Ayat 6, QS. Asy Syu’araa Ayat 214, QS. At Taubah: 122 dan QS. An Nisaa’: 170.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah obyek pendidikan berdasarkan QS At Tahrim Ayat 6?
2. Siapakah obyek pendidikan berdasarkan Asy Syu’araa Ayat 214?
3. Siapakah obyek pendidikan berdasarkan QS. At Taubah: 122?
4. Siapakah obyek pendidikan berdasarkan QS. An Nisaa’: 170?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui obyek pendidikan berdasarkan QS At Tahrim Ayat 6.
2. Untuk mengetahui obyek pendidikan berdasarkan Asy Syu’araa Ayat 214.
3. Untuk mengetahui obyek pendidikan berdasarkan QS. At Taubah: 122.
4. Untuk mengetahui obyek pendidikan berdasarkan QS. An Nisaa’: 170.
BAB II
PEMBAHASAN
OBJEK PENDIDIKAN BERDASARKAN AL-QUR’AN
Dalam sebuah pendidikan tentunya terdapat ilmu pengetahuan, adanya tujuan pendidikan, subjek pendidikan, metode pengajaran dan tentunya terdapat objek pendidikan pula. Dalam objek pendidikan telah terserat dalam Al Qur’an, yaitu dalam surat At Tahrim ayat 6, Assyu’ara 214, At Taubat 122 dan An Nisa 170.
A. QS At Tahrim Ayat 6
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS.At-Tahrim:6).
Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fi’il amr yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz (peliharalah/ jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang Mu’min salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka.
Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah SWT. Merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk menjaga dirinya sendiri, serta keluarganya, sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana sabda Rosuloulloh SAW.
“Dari Ibnu Umar ra. Berkata: saya mendengar Rosululloh SAW. Bersabda: Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya (HR. Bukhary-Muslim).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: "Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?" Rasulullah SAW. menjawab: "Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya.
Maka jelas bahwa tugas manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya harus dengan menjalankan segala perintahNya, serta menjauhi segala laranganNya. Dan itu semua tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka disimpulkan bahwa keluarga juga merupakan objek pendidikan.
Dilihat dari ayat itu sendiri terdapat hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa manusia diharapkan seperti prilaku malaikat, yakni mengerjakan apa yang diperintah Allah SWT. Tafsiran: ayat ini menerangkan tentang ultimatum kepada kaum mu’minin (diri dan keluarganya) untuk tidak melakukan kemurtadan dengan lidahnya, meskipun hatinya tidak.
Kesimpulan: ayat ini menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
B. QS. Asy Syu’araa Ayat 214
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S Asy Syu'ara': 214).
Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS. At Tahrim: 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat.
”Al Aqrobyn” mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Mutalib, lalu Nabi saw. memberikan peringatan kepada mereka secara terang-terangan; Demikianlah menurut keterangan hadis yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Namun hal ini bukan berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan Muthollib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Sebab sesuai kaidah ushul fiqh: ”...dengan umumnya lafadz, bukan dengan khususnya sebab”.
Dilihat dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke-215: ”Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (QS. Asy-Syu’araa: 215). Jadi perintah ini juga berlaku untuk seluruh umat Islam.
Asbab nuzul ayat ini, Ketika ayat ini turun Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Bani Abdul Muthalib, demi Allah aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di seluruh bangsa Arab dari apa yang kubawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya. Maka, siapakah di antara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk menjadi saudaraku dan washiku serta khalifahku?” Mereka semua tidak bersedia kecuali Ali bin Abi Thalib. Di antara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali berdiri seraya berkata: “Aku ya, Rasulullah Nabi. Aku (bersedia menjadi) wazirmu dalam urusan ini”. Lalu Rasulullah SAW memegang bahu Ali seraya bersabda: “Sesungguhnya Ali ini adalah saudaraku dan washiku serta khalifahku terhadap kalian. Oleh karena itu, dengarkanlah dan taatilah ia.” Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berkata kepada Abu Thalib: “Kamu disuruh mendengar dan mentaati anakmu”
Umat Islam adalah saudara bagi yang lain, maka harus saling mendidik dan menasehati. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “ Dari Jarir Ibn Abdillah ra. Berkata: Saya bersumpah setia kepada Rosululloh SAW untuk mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menasehati kepada setiap muslim”. (HR. Bukhory-Muslim). Maka kerabat-kerabat kita terdekat merupakan juga objek dakwah dan tarbiyah.
C. QS. At Taubah: 122
”Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122).
Dalam ayat ini juga terdapat dua lafadz fi’il amar yang disertai dengan lam amar, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu agama) dan lafadz (supaya mereka membari peringatan),yang berarti kewajiban untuk belajar dan mengajar.
Adapun proses belajar dan mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau: ”Dan darinya (Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rosululloh SAW bersabda: Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikitpun dari padanya. (HR. Muslim).
Asbab nuzulnya adalah Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi ke medan perang semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan suatu kabilah di antara mereka beberapa orang beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat untuk memperdalam pengetahuan mereka yakni tetap tinggal di tempat mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah.
Kesimpulan: maka tidak sepatutnya seluruh kaum muslimin pergi berperang (jihad), namun harus ada juga yang harus belajar dan mengajar. Sebab proses tarbiyah sangat pentingbagi kukuhnya Islam. Rosul SAW bersabda (artinya): ”Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)” (HR. Syaikhani).
D. QS. An Nisaa’: 170
•• • •
”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun kepada Allah) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. An Nisa’: 170).
Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rosul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar.
Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah. Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah, maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik.
Nabi SAW bersabda:”Dari Abdullah Ibn ’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW besabda: Sampaikanlah dariku walau satu ayat.....” (HR. Bukhori).
Kesimpulan: Maka manusia baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mauidzoh hasanah, dan argumen yang bertanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Dalam QS At Tahrim Ayat 6 ini menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
2. Dalam QS. Asy Syu’araa Ayat 214 menunjukan yang menjadi obyek pendidikan dalam ayat ini diutamakan adalah kerabat terdekat dari kita dan orang-orang yang dekat kepada azab Allah Swt.
3. Dalam QS. At Taubah: 122 menunjukan yang menjadi obyek pendidikan adalah lebih khusus yakni sebagian dari orang-orang mukmin.
4. Dalam QS. An Nisaa’: 170 menunjukan yang menjadi obyek pendidikan adalah seluruh manusia baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mauidzoh hasanah, dan argumen yang bertanggung jawab.
Karakter Pendidikan Akhlak dalam Pendidikan Islam
Kecanggihan teknologi semakin hari semakin melaju pesat. Dalam zaman globalisasi seperti sekarang ini, tidak heran jika gerak laju ilmu pengetahuan semakin pesat. Berbagai informasi dapat dengan mudah kita akses. Jaman bergerak adalah sebutan yang tepat mengenai hal ini, karena arus informasi terus bergerak mengiringi laju perputaran bumi.
Salah satu bukti bahwa kecanggihan teknologi semakin pesat adalah dengan adanya dunia hiburan yang kian banyak dan marak menjamur. Di perdesaan saja dapat dengan mudah dijumpai game online dan tempat-tempat itu pun ramai dikunjungi. Menurut Dhimam Abror Dj., globalisasi memang membawa banyak keuntungan, salah satunya dalam dunia hiburan. Namun sebenarnya globalisasi memendam persoalan yang kompleks, bahkan lebih kompleks daripada persoalan IMF.
Meskipun kemajuan teknologi membuat kemajuan dalam berbagai bidang dan salah satunya dalam bidang informasi, ternyata juga membawa dampak negatif dalam perkembangan akhlak. Tentunya hal ini tidak lepas dari era keterbukaan yang akomodatif terhadap akulturasi budaya sehingga masyarakat sulit menyaring budaya luar yang begitu cepat menjajah. Dan tanpa disadari akulturasi budaya ini memberikan akibat yang sangat mengerikan berupa dekadensi moral.
Melihat realita seperti itu, maka pendidikan seharusnya lebih serius menanggapi hal tersebut. Sejarah telah memperlihatkan bahwa pendidikan Islam tidak menolak Iptek karena pada prakteknya pendidikan Islam akan selalu bersentuhan dengan lingkungan sekitar. Dalam situasi seperti sekarang ini, dimana dekadensi moral terjadi di mana-mana, maka disamping penanganan yang berdasarkan logika, juga harus dilakukan penanganan secara arif yaitu dengan pendekatan norma etika dan moral keagamaan.
Zakiyah Darajat menjelaskan, hendaknya pendidikan diberikan dalam jangkauan anak yaitu pendidikan yang bersifat nyata dan konkret yang dapat dilakukan dengan pembiasaan dalam sikap keseharian. Dengan pembiasaan akan timbul sebuah kata hati yang nantinya akan menjadi kontrol bagi setiap perbuatannya. Dengan demikian pendidikan tentang norma etika dan moral keagamaan akan sangat tepat jika diberikan sejak masa kanak-kanak.
Untuk itu, ada beberapa karakter metode dalam pendidikan Islam yang harus diperhatikan.
Pertama, mempermudah. Pada dasarnya metode pendidikan yang digunakan oleh pendidik adalah menggunakan suatu cara yang memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk menghayati dan mengamalkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sekaligus mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu pengetahuan dan dan keterampilan tersebut.
Kedua, berkesinambungan. Berkesinambungan dijadikan sebagai salah satu prinsip metode pendidikan Islam karena dengan sesuatu yang berkesinambungan maka akan terjadi suatu proses yang sistematis. Karena Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang akan berlangsung secara terus-menerus. Metode pendidikan yang digunakan pada masa lalu tidak hanya ditinggalkan begitu saja. Namun ia dijadikan sebagai landasan dan pijakan pada waktu sekarang yang sedang digunakan, sementara metode sekarang yang sedang digunakan menjadi dasar perencanaan bagi metode berikutnya dan demikian seterusnya.
Ketiga, fleksibel dan dinamis. Metode pendidikan Islam haruslah digunakan dengan prinsip fleksibel dan dinamis. Karena dengan kefleksibelan dan kedinamisan tersebut pemakaian suatu metode tidak akan dirasa monoton dengan hanya menggunakan satu metode saja. Pendidik bisa lebih mengembangkan variasinya dalam mendidik. Karena dengan prinsip ini diharapkan akan muncul metode-metode baru hasil kreatif dari pendidik-pendidik Islam.
Esensi Pendidikan Islam
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari Kiamat adalah hilangnya ilmu dan meluasnya kebodohan."
Hadits ini menunjukkan bahwa dengan hilangnya ilmu pengetahuan, umur dunia semakin mendekati akhirnya. Ini merupakan sebuah isyarat bahwa ilmu itu adalah suatu hal yang penting, karena ilmu adalah keperluan mendasar manusia. Ilmu yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah ilmu Islam. Ilmu Islam mempunyai kedududkan yang penting untuk memahami agama. Begitu juga ilmu pengetahuan yang lain karena ada persamaannya yaitu sama-sama diperlukan dalam kehidupan.
Rasulullah SAW bersabda: "Seorang imam(pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya."(H.R. Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar).
Pendidikan adalah kebutuhan mendasar bagi setiap umat manusia. Pendidikan bukan hanya sebagai kebutuhan sampingan, karena tanpa adanya pendidikan martabat manusia tidak akan menjadi mulia. Dengan demikian salah satu kewajiban seorang pemimpin dalam sebuah negara adalah memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya melalui pendidikan ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh setiap individu dalam setiap bidang kehidupan, dengan cara menyediakan sekolah baik dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Allah menciptakan manusia di dunia disertai dengan segala panduannya, termasuk dalam sistem pendidikan. Dalam pandangan islam, bersekolah atau menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban. Hendaknya ditanamkan pada anak didik bahwa belajar atau menuntut ilmu hukumnya wajib, jika dilakukan akan mendapat pahala dan derajat yang tinggi, dan kalo tidak dilakukan berarti dosa. Hal ini kebanyakan tidak dipikirkan oleh masyarakat sekuler saat ini.
Beberapa abad silam pendidikan umat islam amat maju. Telah diketahui bahwa peletak dasar science modern adalah pemikir dan ilmuwan muslim. Mengapa dulu, pada semasa khalifah umar bin abdul aziz umat islam ulamanya ahli dibidang science dan sekaligus menjadi ahli agama? Kalau ditelusuri jawabnya adalah tidak ada sekulerisasi antara agama dan science.
Para ilmuwan waktu itu berlomba-lomba mencapai derajat yang tinggi karena didorong oleh keyakinan, bahwa barang siapa menuntut ilmu, Allah akan meninggikan derajatnya. Di samping itu pemimpin sebuah negara (khalifah) sadar bahwa memberikan sarana agar rakyatnya dapat melakukan kewajiban menuntut ilmu merupakan tanggung jawabnya. Khalifah banyak mendirikan perpustakaan diberbagai tempat yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Sekolah-sekolah digratiskan, usia sekolah tidak dibatasi, guru atau ulama digaji tinggi, bahkan konon seorang ulama dihadiahi emas seberat buku yang berhasil ditulisnya. Dalam proses belajar mengajar siswa tidak dibebani harus ujian pada waktu yang telah ditentukan, tetapi siswa diberi kesempatan sampai benar-benar menguasai materi pelajaran dan jika telah siap maka siswa menghadap guru untuk diuji secara lisan.
Akankah pendidikan Islam di masa mendatang melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tidak saja handal dalam bidangnya masing-masing, tetapi sekaligus menjadi manusia-manusia saleh yang akan bermanfaat bagi syiar agama dan kehidupan manusia di dunia ini ? Insya Allah.
Sistem Pendidikan Islam
Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Oleh karena itu, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi, lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama, salah satunya adalah paradigma pendidikan yang materialistik.
Telah terbukti bahwa sistem pendidikan yang materialistik telah gagal melahirkan manusia yang shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Misalnya di Indonesia, secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Depag dan Depkidbud. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tidak tersentuh oleh standar nilai agama.
Pendidikan materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non-materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi.
Sistem Pendidikan Islam
Dalam konteks individu, pendidikan termasuk salah satu kebutuhan asasi manusia. Sebab, ia menjadi jalan yang lazim untuk memperoleh pengetahuan atau ilmu. Sedangkan ilmu akan menjadi unsur utama penopang kehidupannya. Oleh karena itu, Islam tidak saja mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan memberi dorongan serta arahan agar dengan ilmu itu manusia dapat menemukan kebenaran hakiki dan mendayagunakan ilmunya di atas jalan kebenaran itu. Rasulullah Saw bersabda, “Tuntutlah oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah azza wa jalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu akan menempatkan pemiliknya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Ilmu adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat.” [HR. ar-Rabî’].
Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah SWT: “Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Dan Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan.” (Qs. al-Mujadalah: 11).
Asas Pendidikan Islam
Asas pendidikan adalah aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata ajaran dan metode pengajaran) yang diberlakukan oleh negara. Aqidah Islam berkonsekuensi ketaatan pada syari’at Islam. Ini berarti tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterikatan pada syari’at Islam pada peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pengetahuan.
Aqidah Islam menjadi asas dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan harus bersumber pada akidah Islam, karena memang tidak semua ilmu pengetahuan lahir dari akidah Islam. Yang dimaksud adalah, aqidah Islam harus dijadikan standar penilaian. Ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan aqidah Islam tidak boleh dikembangkan dan diajarkan, kecuali untuk dijelaskan kesalahannya.
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, yaitu:
1. Menanamkan aqidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; aqidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki aqidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi aqidah yang diyakininya.
3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitutsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an, tahfizh al-Qur’an, ulumul hadis, ushul fiqh, dll.
2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT.
Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardhu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
Sistem Pendidikan Islam Yang Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Qur’an, kemudian hapalkan kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.