Patimura / Thomas Mattulessy |
Dalam buku biografi versi pemerintah yang ditulis M Sapija dikatakan jika Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya bernama Anthoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Keterangan Sapija tersebut janggal. Sapija tidak jujur dengan tidak menuliskan sebagai Pelayan Allah dan Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Lalu Sapija juga mengada-adakan marga Pattimura Mattulessy, padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman. Penulis sendiri pernah langsung berdiskusi dengan salah seorang Panglima Perang Hitu di tahun 1999 dimana dia menyatakan jika Patimura adalah Marga Muslim sedangkan Mattulessy adalah Kristren. Jadi tidak ada yang namanya Patimura Matulessy. Yang beranam Patimura pastilah dia seorang Muslim.
Mansyur Suryanegara menyatakan marga Patimura masih ada sampai kini. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura. Dan lagi, Maluku pada masa itu dipenuhi oleh kerajaan-kerajaan Islam dengan empat kerajaan Islam besar yakni Tidore, Ternate, Bacan, dan Jailolo. Begitu banyak kerajaan Islam di sini sehingga Ibnu Batutah menyebutnya sebagai lazirah al-Mulk’ atau Tana Para Raja.’
Dalam wawancara dengan penulis di kediamannya di Bandung pada 2001, Mansyur menyatakan jika umat Islam itu mayoritas di Maluku dan Ambon, jadi bukan wilayah Kristen. “Ada cara mudah untuk membuktikannya, lihat saja dari dari pesawat yang sedang terbang, akan terlihat banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja di sana.”
Dan lagi, adalah fakta sejarah jika nyaris seluruh perlawanan terhadap penjajah¬apakah itu Portugis, Spanyol, atau pun VOC -Belanda—seluruhnya dibangkitkan oleh tokoh-tokoh Islam. Ini disebabkan antara lain semua penjajah itu membawa misi penyebaran salib. Jadi amat aneh jika ada orang-orang non-Muslim yang juga mengangkat senjata melawan para misionaris imperialis Mi. Bukankah ini berarti perlawanan Para Domba terhadap Sang Gembala? Jelas mustahil. Adalah fakta sejarah pula jika prang¬orang pribumi yang mau memeluk agama kaum penjajah ini akhirnay bergabung dan mau menjadi tentara kaum penjajah yang rnemerangi bangsanya sendiri.
Salah satunya adalah tentara Marsose yang diterjunkan ke Aceh yang terdiri dari orang-orang pribumi non-Muslim yang bekerja melayani para penjajah.
Seluruh perlawanan yang dibangkitkan merupakan perlawanan terhadap upaya 3G (Gold, Glmius, and Gospel) yang dibawa para kafir penjajah. Demikian pula yang dikobarkan Ahmad Lusy Patimura. Pada 1817, Patimura berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua, dan menewaskan residen Van den Bergh. Jihad ini meluas ke Ambon, Scram, dan tempat-tempat lainnya. Jihad yang digelorakan Patimura bisa kita lihat dalam tradisi lisan Maluku yang masih terpelihara hingga kini, yang antara lain beribunyi:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama’a Kcpitan Mat Lussy
Matulu lalau Kato Sapambuine Ma Parang kua Kompania
Yami jama’a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Haro,
Hario,
Manu msi’a yare uleu uleu ‘o
Mane yascunma yare uleu-uleu ‘o
Talano utak; yare uleu-uleu’o.
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua mena miyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahrnad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Pertempuran kian sengit. Belanda lagi-lagi minta bantuan dari Batavia. Akhirnya Ahmad Lussy dan pasukannya tertangkap Belanda. Pada 16 Desember 1817, Ahmad Lussy dan para mujahidin Ambon menemui svahid di tiang gantungan kafir Belanda.
Sumber: Eramuslim digest, edisi koleksi 9
Data 2
Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi di zaman ini dia lebih dikenal dengan nama Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia pada umumnya.
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi di zaman ini dia lebih dikenal dengan nama Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia pada umumnya.
Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.
Pattimura adalah Muslim Taat
Pattimura adalah Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).
Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).
Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy “Pattimura”
Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua, Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat. Dalam film Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini diperankan aktor ternama Jet Li.
Demikianlah pelurusan sejarah Pattimura yang sebenarnya bernama Kapitan Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Wallahu A’lam Bish Shawab.* (dari berbagai sumber)
www.swaramuslim.net
www.swaramuslim.net
Data 3
MENELUSURI JEJAK PATTIMURA DI BINONGKO
Bukti dan Jejaknya Masih tertata Rapih, di Binongko Patimura di Sebut Kapitan Waloindi
Mengungkap Asal Usul Patimura
Mengungkap jejak asal-usul Patimura berarti mengingatkan kita pada sejarah perjuangan kemerdekaan merebut Benteng Duursetede di Ambon, pada tanggal 16 Mei 1817 M. Nah, Bagaimana kisahnya hingga Patimura disebut Kapitan Waloindi yang tersohor sebagai Pendekar di Bitokawa (Wilayah Kerajaan Buton), selanjutnya di Ambon dikenal dengan nama “ Thomas Matulise Patimura.
Mengungkap Asal Usul Patimura
Mengungkap jejak asal-usul Patimura berarti mengingatkan kita pada sejarah perjuangan kemerdekaan merebut Benteng Duursetede di Ambon, pada tanggal 16 Mei 1817 M. Nah, Bagaimana kisahnya hingga Patimura disebut Kapitan Waloindi yang tersohor sebagai Pendekar di Bitokawa (Wilayah Kerajaan Buton), selanjutnya di Ambon dikenal dengan nama “ Thomas Matulise Patimura.
Gino Samsudin Mirsab
Di Abad ke 21 ini, banyak para ahli sejarah meneliti situs-situs sebagai fakta sejarah masa lampau dan akhirnya mengangkat nama pejuang yang tidak di kenal asal usulnya, tak terkecuali “Patimura atau di Kerajaan Binongko disebut Kapitan Waloindi”. Pada zamannya Kapitan ini, oleh Colonial Belanda menggelarnya dengan sebutan pembangkang, sebaliknya di mata bangsa Indonesia, Patimura dia dikenal sebagai seorang tokoh pendekar yang santun, murah hatinya dan pejuang hak asasi manusia (HAM).
Saat ini, tak jarang banyak pakar sejarah di tanah air, terpaksa membolak-balikkan fakta sejarah para perjuang Kemerdekaan. Misal Kapitan Waloindi yang setara dengan para pejuang Nasional lainnya di Indonesia. Penelusuran pakar sejarah, ditemukan adanya jejak Patimura. Namun di Binongko oleh kalangan pendahulu Patimura di Binongko, namanya adalah Kapitan Waloindi.
Salah seorang peneliti sejarah La Rabu Mbaru SPd SD, yang ditemui Crew Radar Buton di Binongko mengatakan, sepak terjang pendekar yang satu ini, bukan saja melawan ketidak adilan di wilayah Kerajaan Buton, melainkan juga melakukan perlawanan dengan kalangan penjajah di bumi pertiwi ini. Alkisah, dialah Kapitan Waloindi, salah seorang sosok pendekar pembela rakyat jelata, pembela kebenaran, dan selalu murah hatinya, serta wajib baginya untuk menuntut agar keadilan dibumi pertiwi ini, segera diwujudkan, kata La Rabu Mbaru SPd.SD. Dalam penelusurannya, Kapitan Waloindi bukan saja berjuang melawan penjajah di kepulauan Tukang Besi Bitokawa (saat ini disebut Wakatobi) kerajaan Buton, tetapi juga di wilayah kepulauan Maluku. Karena itu La Rabu Mbaru, dalam uraiannya di buktikan dengan temuan-temuannya, sebagai fakta sejarah dan bukti-buktinya, tutur La Rabu.
“Kapitan Waloindi makamnya ada di Binongko, tegasnya”. Kapitan Waloindi merupakan kisah sejarah masa lampau (bukan merubah sejarah), tetapi hanya menekankan siapa sesungguhnya Kapitan Waloindi itu…?. Dalam fakta-fakta sejarah di Pulau Binongko hingga saat ini masih tersimpan kebenarannya. Karena itu Kapitan Waloindi dalam tradisi lisan rakyat Wali Pulau Binongko, bukan hanya menjadi cerita bersambung antara generasi, melainkan juga disertai dengan bukti-bukti sejarah tercatat pada tahun 1334 M.
Dalam sejarah di Kerajaan Binongko telah berdiri kokoh pada tahun 1334 M, sebelum kedatangan Raja Pati La Soro yang berpusat di Wali Koncu Patua. Selanjutnya pada tahun yang sama dibentuk empat kerajaan bersaudara yang disingkat dengan nama Bitokawa (Binongko, Tomia, Kahedupa, dan Wanse). Sejarah Buton dilegitimasi kebenarannya.
Dikatakannya, Raja Pati LaSoro yang kemudian dikenal dengan nama LaHatimura alias LaMura, alias Kapitan Waloindi, diakuinya berasal dari Tanah Barat yaitu dari wilayah Mongol (Tiongkok-Cina). Adapun sesuai penelusurannya Kapitan Waloindi ditemukan bukan berasal dari Mongol, namun ternyata sejak kecil dia diculik oleh para bajak laut, dan dia kembali masuk ke Indonesia melalui Gorontalo (Sekarang disebut Kabupaten Gorontalo) pada tahun 1334 M.
Selanjutnya Kapitan Waloindi atas informasi yang disampaikan oleh rekan penculiknya sejak masih balita pada saat itu, dia melanjutkan perjalannya menuju ke Pulau Bitokawa tepatnya di Binongko. Maksud kedatangannya di Negeri Bitokawa mencari sanak saudaranya, karena ternyata beliau adalah salah seorang anak cucu Raja Wali Patua Sakti (Sumahi Tahim Alam). La Baru Mbaru dalam penjelasannya, Kapitan Waloindi sesampainya di Pulau Binongko. La Soro bertemu dengan LaKakadu disekitar benteng keramat Oihu (saat ini disebut Kahea Koba). Kahea Koba adalah tempat tanah longsor jatuhnya raja Pati La Soro disaat uji kanuragan kesaktiannya (Hingga hari ini tempat itu, masih mengakui disebut jatuhnya raja Pati LaSoro) oleh masyarakat Lokal binongko.
La Kakadu yang ketika menjamu tamunya, karena mengaku adalah saudaranya yang telah lama menghilang, belum langsung mempercayainya, “kalau benar La Soro (Penemu atau pemilik pulau Bitokawa) adalah saudaraku akan kita buktikan kesaktianmu”, ucap LaKakadu. Tanpa menunggu lama keduanya saling menguji kesaktiannya, yang saat ini masih disebut tempat jatuhnya Raja Pati La Soro. Dalam adu kanuragan LaKakadu menendang Raja Pati LaSoro, hingga terperesok kedalam tanah sedalam 7 depa, selanjutnya di Cabut dari dalam tanah (saat ini disebut Kahea Koba), Kahea artinya Lubang, sedangkan Koba artinya dicabut, jelasnya.
Setelah LaSoro mendapat ujian dari LaKakadu, tibalah gilirannya untuk menguji La Kakadu. Secara tangkas LaSoro memutar Lakakadu dengan menggunakan ujung jarinya, sehingga La Kakadu bermuntah-muntah, lantas dia dilemparkan ke udara dan jatuhnya tepat di tanjung Pemali (Matano Sangia Burangasi) di Pulau Buton. Mengingat karena hal itu hanya ujian kanuragan, LaSoro menarik kembali LaKakadu untuk di kembali ketempat semula di Ohiu Pulau Binongko. Sehingga mulai saat itu keduanya saling membenarkan bahwa keduanya memang bersaudara, anak cucu dari Raja Patua Sumahil Tahim Alam, selanjutnya sebagai fakta sejarah tempat uji coba kesaktian itu, disebut Oihu artinya berarti saudara (Toih’u atau Oih’u), papar La Baru. ”Raja Pati LaSoro yang dikenal Sakti Mandraguna, usianya tercatat lebih kurang 600 tahun, selain itu mempunyai kelebihan atau dalam bahasa Wali (Cia-Cia) disebut (Kalabia Mimbali)”.
Sementara itu La Ode Illa dalam keterangannya kepada Radar Buton mengatakan, Kapitan Waloindi pada tahun 1975, seorang sejarawan Wali bernama Ama Huji, ketika ditemui 4 orang peneliti sejarah yang berasal dari Sumatera, kala itu disaksikan oleh La Ode Illa, La Ode Sehe mantan Kepala Desa Wali yang pernah menjabat pada tahun 1955 - 1979, dan selanjutnya diamini oleh LaOde Jaidi (Iyaro Agama Sarano Wali), sempat mendiskusikan asal-usul Kapitan Waloindi, tepatnya di Baruga Sarano Wali Binongko.
Dalam penjelasannya Iyaro Agama, Raja Pati La Soro yang sering dikenal dengan nama Kapitan Waloindi, berasal dari daerah mongol, namun sebelumnya dalam pencarian sanak saudaranya beliau sempat singga di Gorontalo, selanjutnya menuju ke Binongko. Menariknya dalam kisah pencarian Raja Pati Lasoro ini, setibanya di Binongko, dia La Soro di kabarkan mencari anak cucu Patua (Sumahil Tahil Alam).
Selanjutnya Iyaro Agama menjelaskan, perjuangan Kapitan Waloindi di pulau Tukang Besi ini, sangat besar pengaruhnya. Pasalnya, di Kepulauan Tukang Besi pada saat itu, sedang gencarnya perebutan kekuasaan antara perampok Bajak Laut dari wilayah Tobelo, Ternate, maupun Kerajaan Buton. Karena itu dibutuhkan peranan seorang pahlawan seperti halnya Kapitan Waloindi. Bersama para pejuang lainnya di Kepulauan Tukang besi maka dibangunlah kekuatan Bala tentara, yang hingga saat ini, tidak akan terlupakan dalam lembaran sejarah kerajaan Binongko, karena jasanya menumpas para Bajak laut, hingga saat ini cerita sejarah Kapitan Waloindi dimasyarakat daerah Wakatobi masih selalu diperdengarkan hingga saat ini.
Selanjutnya pada Abat 1334 M, kerajaan Binongko di Wali Koncu patua ketika di taklukan oleh Sapati Baaluwu atas nama kerajaan Buton, maka pada saat itu, empat kerajaan bersaudara Bitokawa masing-masing kerajaan berpusat di Patua Tomia, di Palea Kahedupa, Kerajaan Wanse di Liya Wangiwangi.
Hal ikhwal ditaklukannya kerajaan Bitokawa oleh Kerajaan Buton kala itu, sesuai nara sumber sejarah diwilayah Buton, antara Kapitan Waloindi dan Sapati Baaluwu, sempat terjadi pertempuran antara keduanya selama sehari. Namun karena keduanya tidak nampak akan adanya yang kalah dan menang, maka Kapitan Waloindi, meminta agar pertempuran dihentikan sementara. Dalam jedah waktu tersebut Kapitan Waloindi ketika menatap roman muka Sapati Baaluwu, maupun gerak gerik lawannya itu, yang tidak ada gentarnya.
Maka keduanya berinisiatif, untuk saling membuka rahasia, selanjutnya berunding, untuk tidak memperpanjang pertempuran, guna tidak memakan banyak korban nyawa. Dan dalam bahasa rahasia Kapitan Waloindi memulai membuka Rahasia hidupnya, kalau ingin mengalahkan Kapitan Waloindi, Rahasianya tersimpan ditelapak kakinya. Sapati Baaluwu, mendengar terbukanya Rahasia Kapitan Waloindi...dia berjanji telah tiba saatnya, ”Engkaulah Sapati Baaluwu yang meneruskan Kerajaan Binongko, untuk dipersatukan di bawah naungan Kerajaan Butuni (Buton). Dan bertindaklah yang adil, bijaksana dalam setiap langkahmu”, ungkap Kapitan Waloindi.
Bukti sejarah pertempuran kedua pendekar ini sampai saat ini, masih ada di pantai Pasir Palahidu, dimana secara Haebu (Rahasia), Kapitan Waloindi menyerahkan dengan suka relah telapak kakinya kepada Sapati Baaluwu untuk dibelah kakinya. Dan sejak itu tempat pertarungannya di sebut Pallahidu (Pala artinya Telapak, Hidu artinya Hidup atau Hayat). Hal ini, juga diakui oleh sumber Radar Buton La Herani: pada tahun 2002. Selanjutnya Kapitan Waloindi berkata kepada masyarakatnya, dan sanak keluarganya, ”Kujalau (Aku jalan kaki lewat laut), Jalan tete, jalan tete (Kepergian seorang Kakek), Tamosio-siomo (kita akan berpisah-pisah), Mina dhi Wali Saranakamo LaOde (di Wali akan diserahkannya kepemimpinannya), Asumawimo di Watu Maria Khu Rumope Dhi Ambo Soea (Kumenumpang dipeluruh meriam atau Bedil, Kumenuju Ambon, Soea), sumber La Isamu Kaluku pada tahun 2004.
Diriwayatkan juga, setelah Kapitan Waloindi dibelah kakinya oleh Sapati Baaluwu, maka Kapitan Waloindi menghilang secara misterius menuju Timur, Ambon, dan tinggal di Gunung Soea, untuk melanjutkan pertapaannya. Keberadaan Kapitan Waloindi, di gunung Soea Ambon tidak diketahui orang-orang Bitokawa (Wakatobi), maupun orang Buton yang lebih dahulu bermukim di Ambon, kecuali orang-orang yang bisa memegang rahasia (Manusia Rahasia), baru dapat mengenalnya.
Pada tahun 1511 M, setelah sekian lama Kapitan Waloindi bermukim di gunung Soea Ambon. Namun tidak seorangpun yang tahu kalau beliau adalah seorang yang Ksatria dan mandraguna. Beliau dianggap orang biasa saja. Kapitan Waloindi mulai dikenal sebagai pendekar setelah dia masuk tentara Protugis pada tahun 1511 M, selanjutnya bertempur dengan unifprm pasukan tentara Protugis, menyerang dan memukul mundur pasukan Belanda. Karena itu, maka dia Kapitan Waloindi serya membangkitkan semangat rakyat Ambon Maluku, dia juga membentuk pasukan bala tentara untuk menghadapi ancaman penjajah Belanda (VOC).
Sebagai teman karib Kapitan Waloindi yang setia masing-masing; LaTulukabesi (Raja Hitu), Paulus Tiahahu, Cristina Marta Tiahahu (seorang anak putri Paulus Tiahahu) dan Kapitan Patipelohi (Patipelong), berjuang bahu membahu untuk mengusir penajajah Belanda, kala itu, dikenal dengan merebut Benteng Duursetede Ambon dari tanggal 15-16 Mei 1817.
Setelah menguasai Benteng Duursetede Ambon, dia Kapitan Waloindi yang lebih akrab dipanggil sahabat-sahabatnya dengan nama Patimura, karena Hatinya murah, mulia. Selain itu Kapitan Waloindi juga dipanggil oleh sahabat-sahabatnya La Hatimura atau LaMura. Disebutkannya dengan nama Patimua itu, karena dia Raja Pati yang berhati mulia (bermurah hati), beliau relah membantu orang-orang yang lemah dan teraniaya, sehingga gelarnya semakin lama, maka oleh sahabat-sahabat, mengkukuhkan namanya menjadi, ”Thomas Matulesi Patimura”. Berdasarkan kajian riwayat sejarah lisan kuno Wali Binongko, yang digantung oleh Belanda didepan Benteng Victoria Kota Ambon pada tanggal 16 Desember 1817 itu, adalah bukan Patimura, melainkan seorang mata-mata Belanda yang kebetulan wajahnya sama, mirip dengan Patimura.
Sedangkan Kapitan Waloindi atau Patimura telah merubah wajah bersama La Tulukabesi (Raja Hitu), Paulus Tiahahu, Cristina Tiahahu, dan Kapitan Patipelohi kala itu sedang dalam tahanan Belanda, selanjutnya mereka diasingkan ke tanah jawa. Namun ketika diberangkatkan dengan kapal, sesampainya di sekitaran Laut Buru, kapal tersebut kehabisan makanan dan air minum. Maka kalangan pendekar yang menjadi tahanan Belanda dikapal tersebut, melakukan pemberontakan, dan membunuh habis para penghianat (Belanda) selanjutnya mengarahkan kapal tersebut ke Pulau Tukang Besi, tepatnya dipantai Patuhuno (orang yang turun), dan saat ini disebut ”Patuno”, pulau wangi-wangi.
Keberadaan tahanan Belanda ini, setibanya di pulau Wangiwangi disambut dengan gembira oleh masyarakat Wangiwangi. Namun mata-mata Belanda sebaliknya tidak tinggal diam, malah melaporkannya, berada di pulau Wangiwangi. Raja Hitu (Latulukabesi), bersama Paulus Tiahahu, dan Cristina Tiahahu mendengar telah diketahui oleh mata-mata Belanda tentang keberadaannya di Wangiwangi, setelah mendapat tumpangan mereka kembali ke Ambon, tanpa diketahui oleh mata-mata Belanda.
Sedangkan Kapitan Patipelohi (Patipelong) menuju ke Pulau Tomia dan kawin dengan putri Ince Suleman (Dato Suleman) penyiar agama Islam di Tomia. Sementara Kapitan Waloindi kekampung halaman di Binongko menemui anak cucunya yang kala itu dia tinggalkan kurang lebih 483 tahun.
Ironisnya, setibanya Kapitan Waloindi di Binongko terdengar oleh mata-mata Belanda dan akhirnya beliau dicari oleh Belanda hingga sampai ke pulau Binongko. Namun ketika Kapal Belanda yang memuat 7 Kompi Bala Tentara Belanda untuk menangkap Patimura, malah yang terjadi sebaliknya tentara Belanda dihabisi oleh Kapitan Waloindi.
Sebagai Bukti peninggalan sejarah, kapal Belanda yang berlabuhnya di Taduna itu oleh masyarakat Binongko, tempat itu diberi nama kampung Nato, letaknya tidak jauh dari pantai perkampungan Walanda (Belanda), meskipun hingga saat ini masih dirahasiakan.
Kampung lama atau Kampung Molengo atau mangingi, disinilah Kapitan Waloindi menghembuskan nafas terakhirnya, dan nama Kapitan Waloindi telah diabadikan menjadi nama desa, di kecamatan Togo Binongko Wakatobi. Kesaktian Kapitan Waloindi di Zaman seperti ini, sepertinya tidak masuk akal, namun tidak salah untuk kita kagumi, karena hal itu terjadi pada zamannya.
0 komentar:
Posting Komentar
Akan bijak bila memberi komentar bukan spam