« أَوَّلَ مَنْ قَاسَ إِبْلِیسُ حِینَ قَالَ خَلَقْتَنِی مِنْ نَارٍ وَ خَلَقْتَهُ مِنْ طِینٍ فَقَاسَ مَا بَیْنَ النَّارِ وَ الطِّین»
[3]. Ibid, hal. 57.
« إِنَّ أَصْحَابَ الْقِیَاسِ طَلَبُوا الْعِلْمَ بِالْقِیَاسِ فَلَمْ یَزْدَادُوا مِنَ الْحَقِّ إِلَّا بُعْداً إِنَّ دِینَ اللَّهِ لَا یُصَابُ بِالْقِیَاسِ»
[4]. Ibid, jil. 1, hal. 11.
« هَبَطَ جَبْرَئِیلُ عَلَى آدَمَ ع فَقَالَ یَا آدَمُ إِنِّی أُمِرْتُ أَنْ أُخَیِّرَکَ وَاحِدَةً مِنْ ثَلَاثٍ فَاخْتَرْهَا وَ دَعِ اثْنَتَیْنِ فَقَالَ لَهُ آدَمُ یَا جَبْرَئِیلُ وَ مَا الثَّلَاثُ فَقَالَ الْعَقْلُ وَ الْحَیَاءُ وَ الدِّینُ فَقَالَ آدَمُ إِنِّی قَدِ اخْتَرْتُ الْعَقْلَ فَقَالَ جَبْرَئِیلُ لِلْحَیَاءِ وَ الدِّینِ انْصَرِفَا وَ دَعَاهُ فَقَالَا یَا جَبْرَئِیلُ إِنَّا أُمِرْنَا أَنْ نَکُونَ مَعَ الْعَقْلِ حَیْثُ کَانَ قَالَ فَشَأْنَکُمَا وَ عَرَجَ»
[5]. Nahj al-Balaghah, hal. 43, Intisyarat-e Dar al-Hijrah, Qum.
« وَاتَرَ إِلَیْهِمْ أَنْبِیَاءَهُ لِیَسْتَأْدُوهُمْ مِیثَاقَ فِطْرَتِهِ وَ یُذَکِّرُوهُمْ مَنْسِیَّ نِعْمَتِهِ وَ یَحْتَجُّوا عَلَیْهِمْ بِالتَّبْلِیغِ وَ یُثِیرُوا لَهُمْ دَفَائِنَ الْعُقُول»
[6]. Apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:231); “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi supaya mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami hakikat atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar (seruan kebenaran)?” (Qs. Al-Hajj [22]:46)
[7]. Dengan demikian menjadi jelas bahwa penentangan sebagian ulama dan para arif (urafa) terhadap akal sejatinya merupakan sebuah reaksi atas definisi akal yang berkembang yang semata-mata membatasi definisi akal sebagai akal kalkulatif dan imaginatif
[8]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 12, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[9]. Ibid, hal. 10.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid, hal. 13.
[12]. Ibid, hal. 20.
[13]. Ibid., hal. 28.http://insistnet.com/konsep-aql-dan-qalb-dalam-perspektif-islam-1/
AKAL DAN FUNGSI DALAM MEMAHAMI AGAMA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia sekali didalam Islam. Dengan akal maka terselamatlah diri daripada mengikuti hawa nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan keburukan. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang akan membawa manusia ke Neraka Jahannam, Allah berfirman :
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10]
Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka yang tidak mahu mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di dunia. Bererti, kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ; iaitu mampu memelihara manusia dari api neraka.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Didalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbabas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai musuh.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kerana) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian darpadai mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (dengan menggunakan akalmu). [Q.S. Ali ‘Imran : 118]
Meskipun demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian dari Akal ?
2. Apakah Fungsi dan kedudukan Akal dalam islam?
C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui bagaimana pentingnya mempelajari, mamahami, menjaga, dan menggunakan Akal yang diberikan kepada kita agar dapat difungsikan dengan sebaik baiknya sesuai dengan tujuan awal Allah SWT menganugerahkannya kepada kita umat manusia.
D. Manfaat
Banyak manfaat yang dapat kita pelajari dari makalah ini, diantaranya ialah:
· Kita dapat mengetahui apa pengertian dari akal,
· Kita dapat mengetahui bagaimana fungsi dan kedudukan akal,
· Memperluas wawasan kita mengenai akal dan fungsinya menurut pemikiran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala. Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.
B. Fungsi dan Kedudukan Akal dalam Islam
1. Fungsi Akal
Dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki fungsi yaitu sebagai berikut:
· Seagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
· Merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
· Sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
· Untuk menjabarkan pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya.
· Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
· Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
· Sebagai Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.
2. Kedudukan Akal
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
1. Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya. Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya. Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3. Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Alloh subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]: 22 )
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 ).
6. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Alloh, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Alloh petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18). Alloh subhanahu wa'ta'ala menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir (menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)
C. Akal dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara, selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)
1. Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumber-sumbernya.
2. Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3. Falsafat
Sesuai denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat.
4. Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan Islam zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih, bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan abad ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang datang dari dunia barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai menonjolkan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an uang bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu ia punya kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam pendapatnya adalah agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam timbul karena salah pemahaman ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Disamping itu akal dapat membuat hukum mengenai hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.
D. Keterbatasan Akal
Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini. Dengan bahasa yang singkat, akal atau fikiran manusia menjadikan manusia sebagai makhluk yang berperadaban. meskipun begitu, akal yang selalu diagung-agungkan oleh golongan pemikir -sebut saja golongan ra'yu atau mu'tazilah- juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya. Akal akan mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar lewat indera penglihatan atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat berfungsi setelah ada informasi yang bersifat empirik dari indera yang lain. Lalu bagaimana dengan fungsi akal untuk memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak? hal-hal yang bersifat ghoib? Mempertimbangkan bahwa akal dapat berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari panca indera yang lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya untuk hal-hal yang bersifat dapat diraba dan didengar. Adapun untuk hal-hal yang bersifat Ghoib atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu (agama). Mengutip perkataan tokoh sejarah legendaris Muslim terkenal, Ibnu Khaldun : "Akal merupakan timbangan yang sangat cermat, sehingga dapat menghasilkan produk yang tepat dan dapat dipercaya. Akan tetapi jika akal untuk menimbang sifat-sifat keesaan Allah, hidup setelah mati, sifat-sifat kenabian (nubuwwah), atau hal-hal lain di luar kemampuan akal, berarti sama dengan menggunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini bukan berarti bahwa timbangan itu tidak dapat dipercaya." Dengan begitu, meskipun di dalam al-Qur'an sangat ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghoib).
E. Peran akal dalam memahami islam
Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman (dalam pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu dilontarkan ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?
1. Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
2. Akal dan Syariat
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya: berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.
Batasan-batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.
Pembelaan Akal terhadap Agama
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:
1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal secara langsung.
2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.
3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara secara partikular.
4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular, mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.
5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa dipertahankan.
Kebenaran Iman
Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:
1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.
2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu, maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[http://marwaniloveblue.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html]