Aql dan Qalb merupakan keadaan (ahwal/modes) dari jiwa manusia yang bergerak aktif dan terus menerus dengan karakteristik khusus yang dimiliki masing-masing. Dalam Al-Qur’an, kata ‘aql semuanya menunjukan unsur pemikiran pada manusia, sedangkan penggunaan qalb selain merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan emosi tetapi juga pemikiran pada manusia.
A. PENDAHULUAN
Sepanjang umur peradaban manusia baik di Timur maupun di Barat, dunia tidak pernah sepi dari pergumulan manusia dalam mencari kebenaran. Sebagian manusia itu akhirnya sampai pada keberanan ajaran tauhid dan menemukan Allah SWT sebagai Tuhan, satu-satunya Zat penguasa alam semesta. Meskipun demikian, tidak sedikit dari mereka akhirnya terjebak dalam fantasi-fantasi semu atau justru menjadi skeptis sehingga meragukan kemampuan manusia dalam memperoleh kebenaran. Menurut Ibn Khaldun, keinginan untuk mengetahui segala sesuatu di luar diri manusia merupakan naluri atau fitrah yang diberikan Allah SWT sehingga dengannya muncullah ilmu pengetahuan. Socrates, seorang Filosof terkenal dari Yunani, meyakini bahwa manusia akan mampu membuat strandarisasi sahih dan permanen tentang kebenaran melalui akal yang sehat.[1]Jika akal berfungsi baik, maka manusia akan menjadi makhluk berkesadaran tinggi.[2]
Dengan adanya naluri untuk mencari kebenaran, maka timbulah pendidikan. Implikasinya, pembahasan mengenai akal menjadi salah satu topik sentral dalam filsafat pendidikan, sosiologi pendidikan dan psikologi pendidikan di era modern. Para filosof Barat telah melahirkan berbagai konsepsi mengenai akal, contohnya Aristoteles, berusaha menciptakan hukum akal dengan mencipta suatu ilmu yang disebut logika (mantiq).[3] Tetapi Barat memandang ketepatan pandangan dan kebenaran konsepsi itu semata-mata bertumpu pada rasionalitas sekuler dan metode saintifik naturalistik. Trend umum penolakan psikologi dan teori pendidikan Barat terhadap peran fakultas kejiwaan dalam mencapai pengetahuan telah dilakukan sejak abad pertengahan karena konsepsi mereka yang salah terhadap akal dan proses belajar. [4]
Usaha untuk mengetahui hakikat jiwa manusia sebagai saluran dalam mencapai pengetahuan sebenarnya dilakukan para ulama Muslim di masa lampau. Ibn Sina dan Ibn Khaldun, membuat tingkatan-tingkatan berpikir dari akal seorang manusia. Al-Ghazaly dan Ibn Tamiyah selain berbicara tentang aql, juga membahas qalb yang memiliki fungsi hampir serupa dengan qalb. Pemikir Muslim kontemporer asal Malaysia, Syed Muhammad Naquib Al Attas[5] membenarkan adanya kemampuan psikologis dan proses kognitif dalam jiwa manusia yang diletakkan sesuai dengan perannya.[6]
Bagaimanakah sebenarnya konsepsi, fungsi, dan kedudukan aql serta qalb dalam perspektif Islam? Bagaimana pandangan ulama-ulama klasik seputar masalah ini? Serta apakah konsepsi aql dan qabl mengalami perubahan setelah adanya penemuan-penemuan terbaru dalam bidang sains dan teknologi? Melalui tulisan ini diharapkan pertanyaan mendasar seputar aql dan qalb dapat terjawab sehingga konsepsi yang datang dari Barat tidak serta merta kita terima tanpa mengkritisinya terlebih dahulu.
B. PENGERTIAN AQL DAN QALB
1) Etimologis
Untuk memulai pembahasan mengenai konsep akal (aql) dan kalbu (qalb) perlu diurai penggunaan kedua terminologi ini dalam konteks kebahasaan. Dalam kamus bahasa aql, berasal dari kata kerja aqala-ya’qilu-aqlan. Kamus-kamus Arab memberikan arti aql (secara harfiah) dengan pengertian al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hijr (menahan), al-nahy (melarang) dan man’u (mencegah).[7] Orang yang berakal (al-‘aaqil) adalah orang yang mengekang dirinya dan menolak keinginan hawa nafsunya. [8]
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, yaitu , (1) daya pikir (untuk mengerti, dsb); (2) daya, upaya, cara melakukan sesuatu; (3) tipu daya, muslihat, dan (4) kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungan.[9] Sedangkan qalbu – dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi hati. Namun demikian, Hati selain memiliki arti biologis (liver), juga memiliki pengertian sebagai sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan).[10]
Dalam bahasa Inggris, aql dapat diterjemahkan menjadi mind, reason, common sense[11], atau thought. Tetapi al- Attas menerjemahkan aql sebagai mind dan qalb menunjuk padaheart. Secara bahasa, mind dalam Oxford Dictionary berarti, “seat of consciousness, thought, volition, and feeling; intellectual powers as distinct from will and emotion.” Sedangkan heart selain berarti jantung, juga dimaknai sebagai, “centre of thought, feeling and emotion (especially love); capacity for feeling emotion, courage, enthusiasm, center of innermost part, essence.”
Secara etimologis dapat disimpulkan bahwa aql dan qalb, keduanya memiliki fungsi kognisi dan afeksi. Aql dan qalb mampu melakukan aktivitas berpikir sekaligus merasa. Secara khusus, bahasa Arab mengaitkan akal dengan kemampuan seseorang untuk mengekang hawa nafsunya, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kita menjumpai pengertian akal secara negatif, yaitu ketika dipergunakan untuk memperdaya orang. Sedangkan dalam bahasa Inggris ditemukan bahwa kalbu merupakan tempat bersemayamnya hati nurani manusia.
2) Penyebutan aql dan qalb dalam Al Qur’an
Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya, maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra.
Letak akal
Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46, yang artinya,” Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi lalu ada bagi mereka al-qolb (yang dengan al-qolb itu) mereka memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang di dalam dada.” Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Letak akal
Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46, yang artinya,” Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi lalu ada bagi mereka al-qolb (yang dengan al-qolb itu) mereka memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang di dalam dada.” Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
a. Aql
Aql sebagai masdhar tidak disebutkan dalam Al Quran. Tetapi sebagai kata kerja ‘aqala dengan segala akar katanya terdapat dalam al Quran sebanyak 49 kali. Semuanya menunjukkan unsur pemikiran pada manusia.[12]
a. Bentuk عقلوهdisebutkan satu kali.. QS al-Baqarah (2) : 75.
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?.
b. Bentuk تعقلونdisebutkan sekitar 24 kali, salah satunya dalam surat Yusuf 109.
Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?
c. Bentuk نعقل disebutkan satu kali dalam surat Al Mulk (67) ayat 10.
Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.
d. Bentuk يعقله disebutkan satu kali dalam surat Ankabuut (29) ayat 43.
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
e. Bentuk يعقلون disebutkan sekitar 22 kali. Salah satunya dalam al Baqarah (2) ayat 164.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.[13]
b. Qalb
Dalam al-Qur’an, kata qalb digunakan sebanyak 144 kali. Penggunaan qalb selalu merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan akal pada manusia. Ia memiliki arti lebih khusus dari nafs sebagai penggerak naluri atau biologis, yaitu hanya terbatas pada bagian yang disadari.[14]
a. Kata qalb dalam Surat Asyu’araa’ (26) ayat 89.
Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
b. Surat Al Hujuraat (49) ayat 7.
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
c. Surat Al Maa’idah (5) ayat 41.
Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: “Jika diberikan ini (yang sudah dirobah-robah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah” Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
C. FUNGSI DAN KEDUDUKAN
1) Fungsi ‘Aql
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa masalah akal manusia telah mendapat perhatian cukup besar dari para ulama di masa lalu. Mereka menafsirkan fungsi akal berdasarkan perannya sebagai sarana untuk meperoleh pengetahuan. Menurut al-Ghazali akal memiliki banyak makna. Secara filosofis, akal adalah daya intelek dengan sifat alami untuk mengetahui segala sesuatu. . Al Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki banyak aktivitas. Aktivitas itu adalah al-nazhar (melihat dengan memperhatikan), at-tadabbur (memperhatikan secara seksama), al-ta’ammul (merenungkan), al-istibshar (melihat dengan mata batin), al-I’tibar (mengiterpretasikan), al-tafkir (memikirkan), dan al-tadakkur (mengingat). [15]
Akal memiliki beberapa fungsi tetapi yang terpenting adalah sebagai first intelligence yaitu pengetahuan yang melekat dan bersifat ilahiah yang ditanamkan pada diri manusia, atau bisa dikatakan sebagai fitrah. Meskipun demikian, manusia tidak secara otomatis dapat menggunakan potensi akal ini. Manusia harus mengembangkan potensi jiwanya agar akal yang benar dapat dicapai dan dipergunakan sesuai peruntukannya, yaitu berfikir.[16] Al-Quran berulang kali menyuruh manusia untuk memfungsikan akalnya agar tidak menjadi makhluk yang bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah seperti tertulis dalam Surat al-Anfaal (8) ayat 22.
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.
Sedangkan ulama besar lainnya, Ibn Taimiyah mengkonsepsikan kata al-‘aql sebagai kata sifat. Aql merupakan potensi yang terdapat dalam diri orang yang berakal. Ibn Taimiyah mendasarkan pendapatnya pada al-Quran dalam yaitu, dalam firman La’allakum ta’qiluun (agar kalian mengerti). Juga pada Qad bayyanna lakun al aa-yaati in kuntum ta’qiluun (telah kami terangkan ayat-ayat Kami jika kamu mengerti), dan lain-lain. Sehingga beliau berkesimpulan bahwa kata al’aql tidak bisa dipakai untuk menyebut al-ilmu (ilmu) yang belum diamalkan oleh pemiliknya, juga tidak bisa dipakai untuk menyebut amal yang tidak dilandasi ilmu. Kata al’aql hanya bisa dipakai untuk menyebut ilmu yang diamalkan dan amal yang dilandasi ilmu.”[17]
Jika Al-Ghazali beranggapan bahwa aql pengetahuan yang melekat dan bersifat ilahiah yang ditanamkan pada diri manusia, atau bisa dikatakan sebagai fitrah begitu pula pandangan Ibn Khaldun, seorang ulama yang hidup beberapa ratus tahun setelah Al-Ghazali. Ibn Khaldun melihat aql sebagai potensi dan salah satu fungsinya adalah berpikir. Menurut Ibn Khaldun fikr adalah penjamahan bayang-bayang ini di balik perasaan, dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa. Inilah arti kata af-idah (jamak dari fu-ad) dalam surat Al Mulk (67) ayat 23. Fuad ini yang dimaksud dengan pikiran atau fikr.
Katakanlah: “Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.
Kesanggupan berpikir menurut Ibn Khaldun ada beberapa tingkatan, yaitu : (1) akal pembela (al-‘aql ut-tamyizi). Akal ini membantu manusia memperoleh segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, memperoleh penghidupannya, dan menolak segala yang sia-sia bagi dirinya, (2) akal eksperimental (al-‘aql at-tajribi). Ialah pikiran yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang di bawahnya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam ini kebanyakan berupa appersepsi-appersepsi (tashdiqat), yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya, (3) akal spekulatif (al-‘aql an nadzari) adalah pikiran yang melengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenal sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. [18]
[1] Syaikh Nadim al-Jisr, Para Pencari Tuhan ;Dialog Al Quran, Filsafat dan Sains dalam Bingkai Keimanan, Jakarta : Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 36.
[2][2] Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Neurosains dan Al-Quran, cetakan ke-5, Jakarta : Mizan, 2005, hlm.28
[3] Hasan Langgunung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologis, Fisafat dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru, 2004, hlm. 221.
[4] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,Jakarta : Mizan, 2003, hlm. 298.
[5] Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan cendikiawan Muslim yang hidup di abad ini. Gagasannya mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang didasarkan pada metafisika dan epistemologi yang jelas, merupakan titik kulminasi beberapa konseptualnya yang tertuang dalam Prolegomena to the Metaphysics. Kelebihan Al-Attas dibandingkan sarjana Muslim kontemporer lainnya adalah keakuratannya memahami penyebab utama kemunduran umat Islam. Kemunduran umat Islam yang terjadi beruntun sejak abad belakang ini disebabkan oleh kerancuan ilmu ( corruption of knowledge) dan lemahnnya penguasaan umat terhadap ilmu pengetahuan.
[6] Wan Mohd Nor Wan Daud, hal. 297
[7] Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, hlm. 193.
[8] Sayyid Muhammad Az-Za’balawi, Pendidikan Remaja; antara Islam dan Ilmu Jiwa, Jakarta : Gema Insani, 2007, hlm. 46.
[9] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, hlm. 14.
[10] Ibid., hal. 301
[11] Dalam kamus filsafat, pengertian akal dibedakan menjadi dua yaitu : (1) akal sehat atau common sense (berasal dari bahasa latin sensus communis) merupakan pemahaman umum, (2) akal budi atau reason (ratio/intellectus) menurut Kant merupakan asal pengetahuan tentang perilaku moral dan juga merupakan sumber perasaan-perasaan dan intuisi religius. lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, cetakan ke-4, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005,hlm. 28-29.
[12] Hasan Langgunung, Manusia dan Pendidikan, hlm. 235
[13] Asbab Annuzul dari ayat ini diriwatkan dari Ibn Abbas , yaitu ketika orang kafir Quraisy meminta Rasulullah SAW agar Allah menjadikan bukit Shafa dan Marwah sebagai emas sehingga mereka akan beriman dan berperang bersama Rasulullah. Lalu diriwayatkan pula oleh Abi Hatim dengan tambahan, “Mengapa mereka memintamu untuk menjadikan Shafa sebagai emas, padahal mereka dapat melihat tanda-tanda kebesaran yang lebih besar daripada Shafa. Lihat Ringkasan Ibn Katsir.
[14] Hasan Langgunung, Manusia dan Pendidikan, hlm. 234 – 235.
[15] Endang Suherman, Perspektif Islam dalam Pendidikan Jiwa, , Bogor : Program Pascasarjana Universtas Ibnu Khaldun, hlm. 81-82.
[16] Hassan Amer, The Psychology of al-Ghazzali Concept of Normality,http://www.qsm.ac.il/asdarat/jamiea/4/HasanAamer-1.pdf 2 Januari 2010
[17] Sayyid Muhammad Az-Za’balawi, Pendidikan Remaja, hlm. 54.
[18] Ibn Khaldun, Muqaddimah, cetakan ke-7, Jakarta : Pusataka Firdaus, 2008, hlm. 522 -523.99
Allah Swt berfirman:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya (hukum-hukumNya) supaya kalian memahaminya” (QS. Al Baqarah 242)
يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“…maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS. Al Shaad 26)
Ada kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat kaum muslimin, yakni menempatkan masalah akal pada tempat yang seharusnya ditempati oleh hawa nafsu. Sebagai contoh, ketika sebagian orang (ulama?) mengeluarkan fatwa yang membolehkan riba dengan dalil-dalil tertentu, maka ada orang yang menegur sang pemberi fatwa (mufti) itu dengan mengatakan, “Dalil yang anda gunakan itu bukan dari dalil syara’, tetapi dari akal”. Teguran tersebut kurang tepat. Sebab sang mufti itu tidak membawa dalil baik dari syara’ maupun dari akal, justru dia membawa dalil dari hawa nafsunya! Sebab orang yang berakal dan berbicara atas nama akan menolak sistem riba. Sebagaimana Aristoteles menyatakan bahwa uang itu tidak bisa bertelor!
Fungsi AkalBanyak sekalai ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menebut kata-kata seputar akal atau penggunaanya, yaitu berfikir. Misalnya yang hadir dalam bentuk afala ta’qiluun (apakah kamu tdak mengerti) yang berulang sebanyak 13 kali. Atau dalam ungkapan “la’alakum ta’qiluun” (agar kalian memahaminya) berulang sebanyak 8 kali. Atau dalam ungkapan liqaumi ya’qiluun” (bagi kaum yang berfikir) sebanyak 8 kali. Juga dalam ungkapan “liqaumi yatafakkaruun” (bagi kaum yang memikirkan yang berulang sebanyak 7 kali. Semua ungkapan tentang akal dalam ayat-ayat tersebut berkonotasi positif.
Kita tahu bahwa akal merupakan karunia Allah kepada manusia yang membedakan dan melebihkannya dari seluruh makhluk yang lain. Dengan akal itulah Allah memuliakan anak cucu Adam As., ini atas kebanyakan ciptaanNya. Akal merupakan alat manusia untuk mentafakuri alam sehingga ia mendapat petunjuk untuk beriman kepada Allah dan RasulNya. Akal pulalah yang dipakai manusia sebagai alat untuk menggali ilmu-ilmu/sains eksperimental dan rahasia-rahasia alam untuk dimanfaatkan buat kepentingan manusia.
Dalam masalah-masalah diniyah (agama) akal berfungsi sebagai :
- Alat untuk memahami fakta (manath) dimana hukum syara’ diturunkan terhadapnya;
- Alat untuk memahami nash-nash syar’I (Kitab dan Sunnah) sekaligus menggali darinya hukum-hukum syara’.
Dalam poin ini akal tak melampaui batas kemampuannya. Ia tak mungkin mengubah fungsinya sendiri, yakni dari memahami nash-nash syara’ dan mengikatkan diri kepadanya, menjadi penilai dari nash-nash syara’ yang kemudian mengubah dan menggantinya. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh akal, sebab ia telah memahami nash-nash syara’ itu wahyu dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang tak mungkin terselip kebathilan. Akal menyadari bahwa dirinya lemah, penuh kekurangan dan bisa berbuat salah. Jika akal bertentangan dengan wahyu, dia menyadari bahwa wahyulah yang benar dan akallah yang salah, sehingga ia mengoreksi diri dan menundukkan diri dari wahyu. Ia pun menjadi tenteram dengannya. Jika anda melihat manusia yang merasa lebih tinggi dari wahyu dan menakwilkannya, mengoreksinya, lalu mengubahnya, ketahuilah bahwa yang berfungsi dalam diri orang tersebut pada waktu itu bukanlah akalnya melainkan hawa nafsunya.
Akal Tidak Ma’shum
Sekalipun akal cenderung kepada kebenaran, bukan berarti akal itu ma’shum, terbebas dari kesalahan. Justru ia bisa keliru dan salah. Akal terkadang berbuat salah sekalipun aktivitasnya terbatas di wilayahnya dan batas-batas jangkauannya. Oleh karena itu, orang yang berakal membutuhkan saran dan pendapat dari orang lain (yang berakal pula). Dan kalau nyata kebenaran (dari yang lain) ia mesti kembali kepadanya. Rasulullah Saw bersabda : “Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”
Hawa Nafsu Cenderung kepada Keburukan
Tidak terdapat kata ‘al Hawa’ dalam Al Qur’an melainkan dalam konotasi negatif. Sorang muslim tidak sempurna imannya, kecuali ia menundukkan hawa nafsunya -yang cenderung negatif itu- dan mengikatnya dengan syari’at Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda :
“tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mengikutkan (menundukkan) hawa nafsunya dengan (Islam) yang aku bawa” (HR. Imam An Nawawi dalam Kitab Al Arba’in An Nawawiyyah)
Dalam Al Qur’an terdapat kata ‘nafsu’ yang berarti ‘hawa’ atau ‘hawa nafsu’, seperti :
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Karena sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf 54)
Juga dalam firman-Nya :
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah”. (QS. Al Maidah 30)
Banyak di antara manusia yang berilusi bahwa sesuatu yang muncul dari hawa nafsunya ia anggap berasal dari akal mereka, lantaran mereka puas dengannya. Demikan pula mereka berilusi bahwa was-was (bisikan - bisikan buruk) yang dibuat syaitan (dari kalangan jin maupun manusia) dalam dirinya dan mereka puas dengannya, dia anggap dari akal mereka sendiri. Padahal pada hakikatnya mereka itu telah dihiasi oleh syaitan, sehingga memandang indah keburukan mereka dan merekapun menuruti hawa nafsu tanpa bukti (hujjah syar’iyyah) dari Rabb mereka sebagaimana firman-Nya :
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang syaitan menjadikan dia memandang baik perbuatannya dan mengikuti hawa nafsunya”. (QS. Muhammad 14)
Kita memohon kepada Allah Swt agar Dia melindungi kita dari buruknya hawa nafsu dan bisikan-bisikan syaitan. Juga kita memohon agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang berakal yang mendapat petunjuk ke jalan-Nya yang lurus (ash shiroth al mustaqiim),http://www.suara-islam.com/read/index/7396/Akal-dan-Hawa-Nafsu
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya (hukum-hukumNya) supaya kalian memahaminya” (QS. Al Baqarah 242)
يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“…maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS. Al Shaad 26)
Ada kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat kaum muslimin, yakni menempatkan masalah akal pada tempat yang seharusnya ditempati oleh hawa nafsu. Sebagai contoh, ketika sebagian orang (ulama?) mengeluarkan fatwa yang membolehkan riba dengan dalil-dalil tertentu, maka ada orang yang menegur sang pemberi fatwa (mufti) itu dengan mengatakan, “Dalil yang anda gunakan itu bukan dari dalil syara’, tetapi dari akal”. Teguran tersebut kurang tepat. Sebab sang mufti itu tidak membawa dalil baik dari syara’ maupun dari akal, justru dia membawa dalil dari hawa nafsunya! Sebab orang yang berakal dan berbicara atas nama akan menolak sistem riba. Sebagaimana Aristoteles menyatakan bahwa uang itu tidak bisa bertelor!
Fungsi AkalBanyak sekalai ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menebut kata-kata seputar akal atau penggunaanya, yaitu berfikir. Misalnya yang hadir dalam bentuk afala ta’qiluun (apakah kamu tdak mengerti) yang berulang sebanyak 13 kali. Atau dalam ungkapan “la’alakum ta’qiluun” (agar kalian memahaminya) berulang sebanyak 8 kali. Atau dalam ungkapan liqaumi ya’qiluun” (bagi kaum yang berfikir) sebanyak 8 kali. Juga dalam ungkapan “liqaumi yatafakkaruun” (bagi kaum yang memikirkan yang berulang sebanyak 7 kali. Semua ungkapan tentang akal dalam ayat-ayat tersebut berkonotasi positif.
Kita tahu bahwa akal merupakan karunia Allah kepada manusia yang membedakan dan melebihkannya dari seluruh makhluk yang lain. Dengan akal itulah Allah memuliakan anak cucu Adam As., ini atas kebanyakan ciptaanNya. Akal merupakan alat manusia untuk mentafakuri alam sehingga ia mendapat petunjuk untuk beriman kepada Allah dan RasulNya. Akal pulalah yang dipakai manusia sebagai alat untuk menggali ilmu-ilmu/sains eksperimental dan rahasia-rahasia alam untuk dimanfaatkan buat kepentingan manusia.
Dalam masalah-masalah diniyah (agama) akal berfungsi sebagai :
- Alat untuk memahami fakta (manath) dimana hukum syara’ diturunkan terhadapnya;
- Alat untuk memahami nash-nash syar’I (Kitab dan Sunnah) sekaligus menggali darinya hukum-hukum syara’.
Dalam poin ini akal tak melampaui batas kemampuannya. Ia tak mungkin mengubah fungsinya sendiri, yakni dari memahami nash-nash syara’ dan mengikatkan diri kepadanya, menjadi penilai dari nash-nash syara’ yang kemudian mengubah dan menggantinya. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh akal, sebab ia telah memahami nash-nash syara’ itu wahyu dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang tak mungkin terselip kebathilan. Akal menyadari bahwa dirinya lemah, penuh kekurangan dan bisa berbuat salah. Jika akal bertentangan dengan wahyu, dia menyadari bahwa wahyulah yang benar dan akallah yang salah, sehingga ia mengoreksi diri dan menundukkan diri dari wahyu. Ia pun menjadi tenteram dengannya. Jika anda melihat manusia yang merasa lebih tinggi dari wahyu dan menakwilkannya, mengoreksinya, lalu mengubahnya, ketahuilah bahwa yang berfungsi dalam diri orang tersebut pada waktu itu bukanlah akalnya melainkan hawa nafsunya.
Akal Tidak Ma’shum
Sekalipun akal cenderung kepada kebenaran, bukan berarti akal itu ma’shum, terbebas dari kesalahan. Justru ia bisa keliru dan salah. Akal terkadang berbuat salah sekalipun aktivitasnya terbatas di wilayahnya dan batas-batas jangkauannya. Oleh karena itu, orang yang berakal membutuhkan saran dan pendapat dari orang lain (yang berakal pula). Dan kalau nyata kebenaran (dari yang lain) ia mesti kembali kepadanya. Rasulullah Saw bersabda : “Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”
Hawa Nafsu Cenderung kepada Keburukan
Tidak terdapat kata ‘al Hawa’ dalam Al Qur’an melainkan dalam konotasi negatif. Sorang muslim tidak sempurna imannya, kecuali ia menundukkan hawa nafsunya -yang cenderung negatif itu- dan mengikatnya dengan syari’at Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda :
“tidak beriman salah seorang dari kalian, hingga ia mengikutkan (menundukkan) hawa nafsunya dengan (Islam) yang aku bawa” (HR. Imam An Nawawi dalam Kitab Al Arba’in An Nawawiyyah)
Dalam Al Qur’an terdapat kata ‘nafsu’ yang berarti ‘hawa’ atau ‘hawa nafsu’, seperti :
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
“Karena sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf 54)
Juga dalam firman-Nya :
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah”. (QS. Al Maidah 30)
Banyak di antara manusia yang berilusi bahwa sesuatu yang muncul dari hawa nafsunya ia anggap berasal dari akal mereka, lantaran mereka puas dengannya. Demikan pula mereka berilusi bahwa was-was (bisikan - bisikan buruk) yang dibuat syaitan (dari kalangan jin maupun manusia) dalam dirinya dan mereka puas dengannya, dia anggap dari akal mereka sendiri. Padahal pada hakikatnya mereka itu telah dihiasi oleh syaitan, sehingga memandang indah keburukan mereka dan merekapun menuruti hawa nafsu tanpa bukti (hujjah syar’iyyah) dari Rabb mereka sebagaimana firman-Nya :
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang syaitan menjadikan dia memandang baik perbuatannya dan mengikuti hawa nafsunya”. (QS. Muhammad 14)
Kita memohon kepada Allah Swt agar Dia melindungi kita dari buruknya hawa nafsu dan bisikan-bisikan syaitan. Juga kita memohon agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang berakal yang mendapat petunjuk ke jalan-Nya yang lurus (ash shiroth al mustaqiim),http://www.suara-islam.com/read/index/7396/Akal-dan-Hawa-Nafsu
Pendahuluan
Sebelum membahas tentang esensi akal kiranya kita perlu menyebutkan beberapa hal sebagai pendahuluan.
Redaksi akal merupakan salah satu terminologi yang terdapat pada setiap ilmu dan sesuai dengan setiap disiplin ilmu dan pandangan akal memiliki definisi khusus dan terdapat perbedaan dalam makna-makna ini secara terminologis yang acap kali menyebabkan timbulnya banyak kesalahpahaman tentang akal.
Namun pelbagai kerancuan dan keburaman tentang terminologi akal hanya berkenaan dengan pelbagai kerumitan spesialisasi ilmu bukan bermakna bahwa akal benar-benar memiliki keburaman secara esensial.
Dalam Islam, betapa besar nilai yang diberikan kepada akal dan makrifat (pengetahuan). Pada saat yang sama pelbagai deskripsi yang diuraikan tentang akal berseberangan dengan akal yang senantiasa mencari keuntungan dan egosentris yang melulu memfokuskan segala perhitunganya berdasarkan nafs ammarah. Bahkan definisi akal dalam Islam persis berhadap-hadapan dengan ego sentris nafsu manusia sebagaimana redaksi akal dalam bahasa Arab yang bermakna menjinakkan.[1]
Dari sisi lain, salah satu pembahasan terpenting dalam maarif Islam adalah kritik atas penalaran analogis (qiyâsi) dalam urusan-urusan agama. Khususnya dalam mazhab Syiah dan Ahlulbait, qiyâs(analogi) diperkenalkan sebagai mazhab Iblis[2] dan disebutkan bahwa agama tidak dapat dipahami dengan akal analogis.[3] Agama Tuhan di samping mencakup masalah syariat dan juga menyangkut realitas-realitas metafisis.
Karena itu, akal dalam pandangan al-Qur’an dan riwayat bukan akal kalkulatif dan juga bukan analogis. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun bukan akal secara keseluruhan. Karena itu, berulang kali al-Qur’an menyebutkan bahwa kebanyakan manusia tidak berpikir dan berasionisasi atau tidak memberdayakan akalnya padahal kita ketahui kebanyakan manusia mendasarkan seluruh perbuatannya berdasarkan perhitungan dan kalkulasi.
Pembahasan kontradiksi antara akal dan agama merupakan salah satu pembahasan penting khususnya di dunia Barat dan secara praktis berujung pada peminggiran agama dalam kehidupan keseharian mereka. Redaksi akal ini telah menjauh dari makna hakikinya dan celakanya betapa banyak urusan-urusan agama telah bercampur aduk dengan urusan-urusan non-real yang telah menimbulkan kontradiksi antara agama dan akal. Sementara dalam Islam, akal dan agama merupakan satu realitas tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat bahwa dimanapun akal berada maka agama akan senantiasa menyertainya.[4]
Sebagai pendahuluan pembahasan kami telah menyebutkan bahwa memandang akal sama dengan pemikiran analogis dan kalkulatif merupakan sebuah kesalahan filosofis dan gnostis; lantaran analogi dan kemampuan kalkulasi semata-mata merupakan sebuah media permukaan dan skin deep akal yang pekerjaan utamanya berkaitan dengan urusan kuantitas dan bilangan.
Namun untuk memahami pelbagai realitas sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, Tuhan dan manusia, kesempurnaan dan kebahagiaan dan lain sebagainya memerlukan cahaya yang berfungsi sebagai unsur Ilahiah yang terpendam dalam diri manusia. Unsur Ilahiah ini adalah akal manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bahwa para nabi muncul untuk menyemai pelbagai khazanah akal manusia.”[5]
Kita ketahui bahwa kebanyakan keutamaan manusia didasarkan dengan pandangan kalkulatif terhadap pelbagai urusan dalam istilah non-logisnya. Demikian juga, konsep tentang Tuhan dalam pandangan pikiran adalah kuiditas yang berpikir yang secara praktis ekuivalen dengan ketiadaan. Lantaran Tuhan tidak memiliki kuantitas, kuiditas dan kualitas. Padahal cakupan akal fitri dan agamis lebih luas dan lebih menyeluruh daripada kemampuan kalkulatif manusia. Akal fitri dan agamis lebih banyak mencakup pemahaman dan pencerapan hati dan bahkan secara asasi akal, hikmah, fikih, pemahaman dan lain sebagainya seluruhnya disandarkan pada hati manusia dalam pandangan al-Qur’an atau diperkenalkan sebagai sebuah urusan yang dianugerahkan dari sisi Tuhan.[6]
Apa Hakikat Akal itu?
Akal pada intinya adalah intelegensia dan koginisi manusia itu sendiri yang melakukan aktifitas pada setiap tingkatan pemahaman dan pencerapan. Swa kognisi ini semata-mata terkhusus untuk manusia dan hewan-hewan meski memiliki intelegensia namun mereka tidak memiliki sesuatu yang disebut “aku” dan pengetahuan terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, akal adalah cahaya pengetahuan yang menguasai seluruh pilar pemahaman (inderawi, pelbagai konsepsi, pemikiran, ingatan dan lain sebagainya), intelegensia dan mencahayai kesemua ini.
Pengetahuan manusia ini terhadap keberadaannya dan sejatinya, menjadi saksi atas dirinya, merupakan konstelasi seluruh pemahaman yang terkhusus bagi manusia. Seseorang yang mengetahui dirinya sendiri berada di bawah pengaruh pengetahuan ini dalam menghadapi pelbagai urusan sebagai saksi yang sadar secara otomatis memiliki kekuatan pembeda, penilai dan hanya ketika manusia lalai ia tidak memiliki kemampuan ini. Sebagaimana akal dalam menghadapi pelbagai urusan kuantitas dan bilangan memiliki kemampuan untuk menghitung dan mengkalkulasi, dalam menghadapi pelbagai urusan moril, spiritual dan trasendental juga memiliki pemahaman transendental dan akan menuai hasil serta bersemi pada ragam tingkatannya.
Dengan penjelasan ini, akal manusia dan kehadirannya pada diri manusia pada setiap tingkatannya merupakan perkara fitri, gamblang dan esensial. Dan untuk menetapkan atau memberdayakannya tidak memerlukan pembahasan teoritis yang rumit dan njelimet.
Tidak bergunanya upaya dalam menetapkan logika akal disebabkan oleh sesuai dengan asumsi persoalannya “penetapan logis” semata-mata merupakan salah satu kemampuan dan media akal. Karena itu, akal untuk menetapkan dirinya tidak memerlukan medianya sendiri melainkan akal sadar dan tahu akan dirinya. Dan segala sesuatu akan ditetapkan dan menjadi terang dengan cahaya pemahaman dan kesadaran akal.
Untuk memahami kehadiran akal syarat yang diperlukan adalah tiadanya kelalaian terhadap diri sendiri dan sebab jauhnya manusia dari akal adalah tiadana kesadaran pada diri manusia dan teralineasi serta tertawannya pikiran oleh sebagian kecendrungan buta.
Sesuai dengan anggapan al-Qur’an, seluruh manusia memiliki akal namun karena buta hati maka manusia tidak mampu memberdayakannya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi supaya mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami hakikat atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar (seruan kebenaran)? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.“ (Qs. Al-Haj [22]:46) Pada ayat lainnya, al-Qur’an menyatakan, “Dan sesungguhnya Kami ciptakan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Qs. Al-A’raf [7]:179)
Beberapa Tingkatan Akal
Di sini kami akan menyinggung secara selintasan beberapa tingkatan akal dari sudut pandang pengetahuan agama.
Kami katakan bahwa akal dalam pengertian umum adalah swa-kognisi manusia yang merupakan cahaya keberadaan manusia. Karena itu, ragam tingkatan akal adalah ragam tingkatan swa-kognisi manusia tentang dirinya dimana swa-kognisi mencakup seluruh tingkatan pencerapan dan pemahaman serta media indrawi, fantasi, pikiran, ingatan dan lain sebagainya. Dan kesemua ini memiliki pencerapan dan pemahaman insani.
Telah kami nyatakan bahwa akal adalah pengetahuan atas pelbagai pemahaman dan pencerapan ini bukan pencerapan dan pemahaman itu sendiri. Atas dasar itu, boleh jadi ungkapan al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia memiliki mata (pencerapan indrawi) namun tidak melihat. Manusia memiliki kemampuan untuk menghitung namun tidak berpikir. Memiliki ingkatan namun tidak mengambil pelajaran dan seterusnya. Adapun manusia berakal, ia memiliki pemahaman hidup terkait dengan seluruh pencerapan ini dimana pemahaman ini adalah indikasi tentang kehadiran pengetahuan lebih unggul pada diri manusia.
Akan tetapi akal kalkulatif dan komparatif yang digunakan untuk mengatur dan mengelola urusan duniawi adalah salah satu media akal yang dapat beraktifitas dengan baik pada tempatnya. Namun kehancuran akan terjadi apabila kemampuan kalkulatif ini ingin berjalan di luar fungsinya dan mengatur seluruh keberadaan manusia beradasarkan nafsu ammarah.
Dalam kondisi seperti ini, kemampuan kalkulatif yang mirip dengan akal dan bukan akal itu sendiri mendominasi keberadaan manusia dan mencegahnya untuk mentransendental dan mengingkari segala sesuatu selain perhitungan kuantitatif dan kalkulatif.
Setelah peringatan ini, terkait dengan tingkatan akal kami katakan bahwa serendah-rendah derajat akal adalah pengetahuan manusia terhadap panca indranya sendiri dimana manusia seukuran dengan pemanfaatan akal maka ia akan memahami makna dan pesan yang ada pada setiap yang ditangkap oleh panca indra. Dan pada tingkatan tertinggi akal mencakup pengetahuan terhadap pikiran, ingatan, ilmu, ibrah, dan hikmah. Kemudian dari jantung tingkatan ini, akal yang lebih unggul akan nampak yang mencakup seluruh tingkatan wahyu dan pelbagai pencerapan syuhudi (dalam artian universalnya) dan pada puncaknya, tingkatan kecintaan Ilahi dan pencerapan tauhid irfani sebagai derajat pamungkas dari tingkatan berseminya akal.
Karena itu, kita saksikan bahwa dalam terminologi al-Qur’an dan riwayat dikemukakan bahwa akal sebagai unsur penyelamat manusia. Dengan demikian, kita tidak menemukan adanya celaan dan kritikan terhadap akal dalam lisan al-Qur’an dan tuturan para maksum kecuali dalam masalah analogi (qiyâs) yang telah kami sebutkan bahwa analogi tidak bermakna akal dan hanya merupakan satu lapisan permukaan dari media-media akal.[7]
Beberapa Riwayat ihwal Esensi Akal
1. Imam Shadiq As ditanya tentang apa itu akal? Beliau bersabda, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan firdaus direngkuh.” Perawi berkata, “Aku berkata, “Lantas yang dimiliki Muawiyah itu apa?” Imam Shadiq As bersabda, “Itu adalah kelicikan. Itu adalah pengelabuan. Hal itu adalah demonstrasi bahwa ia memiliki akal namun bukan akal.”[8]
2. Tatkala Allah Swt menciptakan akal, Allah Swt berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak mendapatkan satu makhluk pun sebelummu yang lebih aku cintai dan hanya kepadamu kuberikan segalanya secara sempurna yang Aku punyai di antara orang-orang yang Aku cintai.[9]
3. Jibril turun kepada Nabi Adam dan berkata, “Wahai Adam! Aku mendapatkan tugas untuk memberikan kepadamu pilihan atas salah satu dari tiga hal. Maka pilihlah salah satu darinya dan biarkanlah dua hal tersebut. Adam berkata “Apakah tiga hal tersebut?” Jibril menjawab, “Akal, sifat malu (hayâ) dan agama.” Adam berkata, “Aku memilih akal.” Jibril berkata kepada sifat malu dan agama untuk pergi dan melepaskan akal.” Keduanya berkata, “Wahai Jibril! Kami bertugas untuk senantiasa bersama akal di manapun ia berada.”[10]
4. Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt tidak mengarunai sesuatu lebih baik daripada akal. Karena tidurnya orang berakal pada malam hari lebih baik dari bangunnya orang jahil. Berdiamnya seorang berakal lebih baik dari perjalanan orang jahil (menuju haji dan jihad). Allah Swt tidak mengutus nabi dan rasul kecuali untuk menyempurnakan akal (sepanjang akalnya belum sempurna Allah Swt tidak akan mengutusnya). Akalnya lebih unggul daripada akal seluruh umatnya. Apa yang dimiliki oleh nabi lebih menjulang daripada ijtihad para mujtahid dan supaya hamba tidak menemukan kewajibannya dengan akalnya sendiri. Ibadah seluruh para hamba tidak akan mencapai keutamaan ibadah seorang berakal. Orang-orang berakal adalah para pemilik kecendiaan dan tentangnya Rasulullah Saw bersabda, “Hanya ulul albâb (orang-orang berpikir) yang mengambil pelajaran.”[11]
5. Imam Shadiq As bersabda: Allah Swt menciptakan akal dari cahaya surya dan dari sisi kanan arsy. Akal adalah makhluk pertama dari kalangan entitas-entitas cahaya.[12]
6. Tiada jarak antara iman dan kekufuran kecuali kekurangan akal.”[13] [IQuest]
[1]. Kitab al-‘Ain, jil. 1, hal. 159, Software Jami’ al-Ahadits.
« عقلت البعیر عقلا شددت یده بالعقال أی الرباط»
[2]. Al-Kulaini, al-Kafi, jil. 1, hal. 58, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365.
« أَوَّلَ مَنْ قَاسَ إِبْلِیسُ حِینَ قَالَ خَلَقْتَنِی مِنْ نَارٍ وَ خَلَقْتَهُ مِنْ طِینٍ فَقَاسَ مَا بَیْنَ النَّارِ وَ الطِّین»
[3]. Ibid, hal. 57.
« إِنَّ أَصْحَابَ الْقِیَاسِ طَلَبُوا الْعِلْمَ بِالْقِیَاسِ فَلَمْ یَزْدَادُوا مِنَ الْحَقِّ إِلَّا بُعْداً إِنَّ دِینَ اللَّهِ لَا یُصَابُ بِالْقِیَاسِ»
[4]. Ibid, jil. 1, hal. 11.
« هَبَطَ جَبْرَئِیلُ عَلَى آدَمَ ع فَقَالَ یَا آدَمُ إِنِّی أُمِرْتُ أَنْ أُخَیِّرَکَ وَاحِدَةً مِنْ ثَلَاثٍ فَاخْتَرْهَا وَ دَعِ اثْنَتَیْنِ فَقَالَ لَهُ آدَمُ یَا جَبْرَئِیلُ وَ مَا الثَّلَاثُ فَقَالَ الْعَقْلُ وَ الْحَیَاءُ وَ الدِّینُ فَقَالَ آدَمُ إِنِّی قَدِ اخْتَرْتُ الْعَقْلَ فَقَالَ جَبْرَئِیلُ لِلْحَیَاءِ وَ الدِّینِ انْصَرِفَا وَ دَعَاهُ فَقَالَا یَا جَبْرَئِیلُ إِنَّا أُمِرْنَا أَنْ نَکُونَ مَعَ الْعَقْلِ حَیْثُ کَانَ قَالَ فَشَأْنَکُمَا وَ عَرَجَ»
[5]. Nahj al-Balaghah, hal. 43, Intisyarat-e Dar al-Hijrah, Qum.
« وَاتَرَ إِلَیْهِمْ أَنْبِیَاءَهُ لِیَسْتَأْدُوهُمْ مِیثَاقَ فِطْرَتِهِ وَ یُذَکِّرُوهُمْ مَنْسِیَّ نِعْمَتِهِ وَ یَحْتَجُّوا عَلَیْهِمْ بِالتَّبْلِیغِ وَ یُثِیرُوا لَهُمْ دَفَائِنَ الْعُقُول»
[6]. Apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:231); “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi supaya mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami hakikat atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar (seruan kebenaran)?” (Qs. Al-Hajj [22]:46)
[7]. Dengan demikian menjadi jelas bahwa penentangan sebagian ulama dan para arif (urafa) terhadap akal sejatinya merupakan sebuah reaksi atas definisi akal yang berkembang yang semata-mata membatasi definisi akal sebagai akal kalkulatif dan imaginatif
[8]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 12, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[9]. Ibid, hal. 10.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid, hal. 13.
[12]. Ibid, hal. 20.
[13]. Ibid., hal. 28.http://insistnet.com/konsep-aql-dan-qalb-dalam-perspektif-islam-1/
AKAL DAN FUNGSI DALAM MEMAHAMI AGAMA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akal memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia sekali didalam Islam. Dengan akal maka terselamatlah diri daripada mengikuti hawa nafsu yang sentiasa menyuruh untuk melakukan keburukan. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang akan membawa manusia ke Neraka Jahannam, Allah berfirman :
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". [Q.S. Al-Mulk : 10]
Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka yang tidak mahu mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di dunia. Bererti, kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ; iaitu mampu memelihara manusia dari api neraka.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Didalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbabas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai musuh.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kerana) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian darpadai mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (dengan menggunakan akalmu). [Q.S. Ali ‘Imran : 118]
Meskipun demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian dari Akal ?
2. Apakah Fungsi dan kedudukan Akal dalam islam?
C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar para pembaca dapat mengetahui bagaimana pentingnya mempelajari, mamahami, menjaga, dan menggunakan Akal yang diberikan kepada kita agar dapat difungsikan dengan sebaik baiknya sesuai dengan tujuan awal Allah SWT menganugerahkannya kepada kita umat manusia.
D. Manfaat
Banyak manfaat yang dapat kita pelajari dari makalah ini, diantaranya ialah:
· Kita dapat mengetahui apa pengertian dari akal,
· Kita dapat mengetahui bagaimana fungsi dan kedudukan akal,
· Memperluas wawasan kita mengenai akal dan fungsinya menurut pemikiran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala. Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.
B. Fungsi dan Kedudukan Akal dalam Islam
1. Fungsi Akal
Dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki fungsi yaitu sebagai berikut:
· Seagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
· Merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
· Sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
· Untuk menjabarkan pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya.
· Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
· Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
· Sebagai Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.
2. Kedudukan Akal
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
1. Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya. Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya. Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3. Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Alloh subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]: 22 )
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 ).
6. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Alloh, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Alloh petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18). Alloh subhanahu wa'ta'ala menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir (menggunakan akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)
C. Akal dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara, selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)
1. Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumber-sumbernya.
2. Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3. Falsafat
Sesuai denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat.
4. Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan Islam zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih, bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan abad ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang datang dari dunia barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai menonjolkan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an uang bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu ia punya kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam pendapatnya adalah agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam timbul karena salah pemahaman ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Disamping itu akal dapat membuat hukum mengenai hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.
D. Keterbatasan Akal
Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini. Dengan bahasa yang singkat, akal atau fikiran manusia menjadikan manusia sebagai makhluk yang berperadaban. meskipun begitu, akal yang selalu diagung-agungkan oleh golongan pemikir -sebut saja golongan ra'yu atau mu'tazilah- juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya. Akal akan mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar lewat indera penglihatan atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat berfungsi setelah ada informasi yang bersifat empirik dari indera yang lain. Lalu bagaimana dengan fungsi akal untuk memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak? hal-hal yang bersifat ghoib? Mempertimbangkan bahwa akal dapat berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari panca indera yang lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya untuk hal-hal yang bersifat dapat diraba dan didengar. Adapun untuk hal-hal yang bersifat Ghoib atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu (agama). Mengutip perkataan tokoh sejarah legendaris Muslim terkenal, Ibnu Khaldun : "Akal merupakan timbangan yang sangat cermat, sehingga dapat menghasilkan produk yang tepat dan dapat dipercaya. Akan tetapi jika akal untuk menimbang sifat-sifat keesaan Allah, hidup setelah mati, sifat-sifat kenabian (nubuwwah), atau hal-hal lain di luar kemampuan akal, berarti sama dengan menggunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini bukan berarti bahwa timbangan itu tidak dapat dipercaya." Dengan begitu, meskipun di dalam al-Qur'an sangat ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghoib).
E. Peran akal dalam memahami islam
Ikatan antara akal dan agama adalah pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang pembahasan yang dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal dan iman (dalam pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu dilontarkan ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan kita terhadap Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting di dalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?
1. Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat agama hubungan antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan telah diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan iman merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu bertentangan dengan rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak mampu mengklaim atau tidak mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam pandangan agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan) yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas. Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme). Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat pro dan kontra terhadap pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa akal dapat mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil akal akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada dalam konsep keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus berjuang mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
2. Akal dan Syariat
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian hukum-hukum syariat yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti: mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan dan tujuan dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya: berdusta adalah perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil khusus tidaklah diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak dapat menetapkan (tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun, kita percaya bahwa semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist. Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan pendapat sendiri.
Batasan-batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal agama, adalah sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup. Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli) terhadap permasalahan tersebut.
Pembelaan Akal terhadap Agama
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan general(kulli) dan partikular(juz’i) adanya pembelaan akal terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) , juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun sebaliknya terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam menggariskan hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general alam , yakni setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan ilmu, kehendak, dan hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali, sehingga dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua tujuan dan manfaat tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:
1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan pembelaan akal secara langsung.
2. Partikular agama secara langsung dan tanpa perantara tidak bisa dibuktikan melalui dalil akal, akan tetapi secara tidak langsung dan melalui perantara dengan menggunakan dalil akal.
3. Tidak adanya pembelaan secara akal, tanpa perantara atas partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam perkara-perkara secara partikular.
4. Setelah merasakan penyaksian kebenaran perkara-perkara partikular, mampu untuk diterangkan melalui dalil akal.
5. Akal dalam menegakkan dalil untuk masalah-masalah partikular sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran atasnya tidaklah bisa dipertahankan.
Kebenaran Iman
Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan rasionalitas iman dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:
1. Jika yang dimaksud dengan iman di sini adalah perkara-perkara partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka di sini akal tidak mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang merupakan wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat membuktikannya. Namun apabila surga dengan pemahaman general sebagai sebuah tempat pahala yang akan diterima dari perbuatan baik atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari perbuatan pahala perbuatan.
2. Jika yang dimaksud dengan iman adalah hasil dari pengalaman spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi yang tertentu, maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam interpretasi dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi mengajak kaumnya kepada keimanan dengan dalil akal dan ditopang oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil dari pengalaman pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[http://marwaniloveblue.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html]
1 komentar:
sangat setuju, itu yang saya butukan dari ilmunya agama islam
Posting Komentar
Akan bijak bila memberi komentar bukan spam