Jumat, 31 Oktober 2014

Pengertian Studi Kultural-Culture Study-Kajian Budaya

Kajian budaya atau Studi Kultural (Culture Study) adalah bidang akademik yang didasarkan pada teori kritis dan kritik sastra. Karakteristik interdisipliner, studi budaya menyediakan jaringan refleksif intelektual mencoba untuk menempatkan pasukan membangun kehidupan kita sehari-hari. Ini menyangkut dinamika politik budaya kontemporer, serta yayasan sejarahnya, konflik, dan sifat-sifat yang menentukan. Hal ini dibedakan dari antropologi budaya dan studi etnis di kedua tujuan dan metodologi. Para peneliti berkonsentrasi pada bagaimana media tertentu atau messagerelates ideologi, kelas sosial, kebangsaan, etnis, seksualitas dan / atau gender, bukannya menyelidiki suatu budaya tertentu atau wilayah dunia. [1]
Cultural studies pendekatan holistik mata pelajaran, menggabungkan teori feminis, teori sosial, teori politik, sejarah, filsafat, teori sastra, teori media, kajian film / video, studi komunikasi, ekonomi politik, studi terjemahan, studi museum sejarah dan seni / kritik untuk mempelajari budaya fenomena di berbagai masyarakat. Dengan demikian, kajian budaya berusaha untuk memahami cara-cara di mana makna dihasilkan, disebarluaskan, dan diproduksi melalui berbagai, kepercayaan praktek dan lembaga. Juga politik, ekonomi dan bahkan struktur sosial dalam budaya tertentu.
Sejarah

Istilah ini diciptakan oleh Richard Hoggart pada tahun 1964 ketika ia mendirikan Pusat Studi Budaya Birmingham Kontemporer atau CCCS [rujukan?]. Sejak itu menjadi sangat terkait dengan Stuart Hall, yang berhasil Hoggart sebagai Direktur.
Dari tahun 1970, merintis kerja Stuart Hall, bersama dengan rekan-rekannya Paul Willis, Dick Hebdige, Tony Jefferson, Michael Green dan Angela McRobbie, menciptakan sebuah gerakan intelektual internasional. Banyak budaya studi sarjana dipekerjakan Marxistmethods analisis, mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk budaya (suprastruktur) dan bahwa dari ekonomi politik (dasar). Pada 1970-an, kelas politik tangguh bekerja British berada di penurunan. Inggris industri manufaktur yang memudar dan serikat gulungan yang menyusut. Namun jutaan warga Inggris kelas pekerja mendukung munculnya Margaret Thatcher. Untuk Stuart Hall dan teori Marxis lainnya, ini pergeseran loyalitas dari Partai Buruh ke Partai Konservatif adalah bertentangan dengan kepentingan kelas pekerja dan harus dijelaskan dalam hal politik budaya.


Dalam rangka untuk memahami situasi politik yang berubah kelas, politik dan budaya di Inggris, ulama di CCCS beralih ke karya Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia tahun 1920-an dan 30-an. Gramsci telah peduli dengan masalah yang sama: mengapa buruh Italia dan petani memilih fasis? Dengan kata lain, mengapa orang yang bekerja memilih untuk memberikan kontrol yang lebih kepada perusahaan dan melihat hak-hak mereka sendiri dan kebebasan dibatalkan? Gramsci dimodifikasi klasik Marxisme dalam melihat budaya sebagai instrumen kunci kontrol politik dan sosial. Dalam pandangan ini, kapitalis digunakan tidak hanya kekerasan (polisi, penjara, represi, militer) untuk mempertahankan kontrol, tetapi juga merambah budaya sehari-hari orang yang bekerja. Dengan demikian, rubrik kunci untuk Gramsci dan untuk studi budaya adalah bahwa hegemoni budaya.




Menurut Stuart Hall representasi merupakan media penyampaian pesan, berekspresi dan mengkomunikasikan ide, konsep atau perasaan kita, yang kesemuanya merupakan transmisi penyampai makna ( Stuart Hall, 1997:4-5). Berangkat dari paradigma postrukturalisme dan teori postkolonial ,pendekatan cultural studies memposisikan pengetahuan bukan sebagai suatu kebenaran obyektif, melainkan sebagai suatu produk kita mengkategorisasikan dunia melalui pengertian yang dibangun secara diskursif ( Kristeva, 1986). Postrukturalis, dalam pandangan Michel Foucault melihat pengetahuan lahir dari suatu proses diskursif.
Michel Foucault
Michel Foucault
Menurut Foucault, pengetahuan berkenaan pula dengan relasi kekuasaan, seperti yang dikatakannya : “ Power produces knowledge, in the sense that what is considered ‘true’, knowledge about a topic is constructed through discourse. It is discursive knowledge which has the power to make itself true” ( Stuart Hall, 1997: 49). Jadi, dalam pengertian ini, kekuasan telah menciptakan pengetahuan mengenai apa yang kita anggap sebagai suatu “kebenaran”, pengetahuan dikonstruksikan melalui wacana yang kemudian secara diskursif telah menciptakan kekuasan untuk menjadikannya sebagai kebenaran. Foucault kemudian melanjutkan analisisnya mengenai relasi antara pengetahuan dan kekuasaan sebagai berikut : “ Knowledge produced by discourse is a kind of power because ‘those who known in a particular way will be subject (i.e. subjected) to it “ ( Stuart Hall, 1997 : 295). Konstruksi sosial dalam pandangan postrukturalis menurut Foucault ini telah memberi pengaruh yang besar dalam analisis konteks  yang secara spesifik melatarbelakangi suatu wacana dan terutama relasi yang dinamis antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan bukan hanya diciptakaan melalui relasi kekuasaan tetapi juga melahirkan bentuk kekuasaan baru.
Sementara itu, melanjutkan analisis konstruksi sosial postrukturalis, teori postkolonial membahas bagaimana wacana memeroleh kekuasaan dan menggunakannya sebagai alat. Stuart Hall membedakan setidaknya ada tiga fungsi kekuasaan yang telah mencipakan relasi tentang keberbedaan ( differences). Pertama, kekuasaan sebagai cara untuk mengkategorikan masyarakat ke dalam kategori dikotomis seperti “ western non western”. “developed third world”, “civilised-uncivilised”; Kedua, kekuasaan sebagai cara membandingkan kedua kondisi dikotomis tersebut; Ketiga, sebagai framework atau bingkai untuk mengorganisasikan relasi kekuasaan dan menentukan bagaimana kita berpikir serta berbicara.
Homi K Bhabha
Homi K Bhabha
Stuart Hall memang dianggap oleh banyak kalangan sebagai salah satu tokoh intelektual yang amat mewarnai perkembangan cultural studies, cara pandangnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran intelektual postrukturalis seperti Edward Said, Homi Bhabha dan Gayatri Spivak. Berdasarkan karya Edward Said, “Orientalism”, dunia direpresentasikan secara polaris sehingga menciptakan kategori “ the others” atau mereka yang lain, yang berbeda  dan karenanya juga menciptakan pembedaan antara “ mereka” dan “kita”. Karya Said sendiri memamg mengundang banyak polemik dikarenakan thesis-nya yang mengatakan bahwa “ Timur”telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek modernitas “Barat”.
Edward Said
Edward Said
Studi Said ini dibangun melalui studi interpretatif terhadap karya kesustraan “Barat “ (Western) yang memfokuskan setting narasinya pada konteks Asia (Orientalism). Edward Said ( lewat studi atas novel-novel Barat yang dihasilkan antara lain oleh Flaubert, Austen, Conrad, de Nerval ) menggagas teori mengenai Orientalisme dengan asumsi bahwa ada kaitan erat antara imperialisme Barat dengan unsur-unsur yang didukung oleh kebudayaan Barat. Melalui analisis Foucauldian tentang relasi kekuasaan, Said ( 1995) mencoba memetakan bagaimana “Timur” telah menjadi subyek yang pasif bagi proyek imperialisme Barat, di mana kehendak untuk menguasai ( dominasi) dijalankan secara manipulatif bahkan seringkali melalui proses inkorporasi secara laten dimiliki oleh kelompok  sub-ordinan ( Timur). Thesis Said mengenai Orientalisme ini dianggap terlalu berlebih-lebihan dalam memposisikan ”Timur” sebagai proyek pasif yang sama sekali tidak  memiliki ruang ataupun bentuk-bentuk artikulasi dalam melakukan perlawanan terhadap dominasi peradaban Barat, meski begitu setidaknya Said telah membuka cakrawala baru mengenai  “ bagaimana kita mengkategorisasikan dunia melalui pengalaman kita melihat dunia “.
Gayatri Spivak
Gayatri Spivak
Homi Bhabha dan Gayatri Spivak, kemudian mengembangkan gagasan mengenai studi pasca kolonial dengan fokus studi representasi, yakni apa yang kini dihadirkan sebagai bagian dari wajah dunia. Bhabha menekankan bahwa, apa yang dihadirkan saat ini di dunia merupakan perwujudan representasi dari budaya hybrid (cultural hybrids). Hybridity mendeskripsikan bagaimana wacana mengenai kolonial dan imperial secara inheren bersifat tidak stabil bahkan “split”, sehingga setiap praktek dari dominasi, bahasa menjadi wujud dari hybridity itu sendiri ( Bhabha, 1994). Analisis Bhabha ini didasari oleh studinya mengenai stereotype kolonial di mana dalam konteks persebaran otoritas imperial, misalnya stereotype kekejaman kebangsawanan (the nobel savage) dan kecurangan timur (the wily oriental) dikonstruksikan sebagai suatu “ sifat yang alamiah “ dan konstruksi ini dikonfirmasikan terus-menerus oleh para kolonialis (colonialiser). Dalam penjelasan yang lain, Bhabha menggambarkan stereotype tersebut seringkali bersifat kontradiktif, di mana subyek kolonial ( colonial subject) yang “kejam” digambarkan sebagai “ para abdi yang patuh dan taat” ( karena mereka adalah the bearer of food), mereka seringkali berjiwa mistis dan berfikir secara primitif sehingga karenanya adalah subyek yang tidak berdosa (innocent).
Ambivalensi relasi yang dilahirkan dalam konteks kolonialisme ini melahirkan struktur agensi baru sebagaimana yang ditegaskan oleh Spivak sebagai suatu transformasi yang memungkinkan kondisi dari suatu yang mustahil menjadi niscaya ( the transformation of condition of impossibility into possibility). Suatu gambaran menarik mengenai bagaimana suatu kondisi yang mustahil menjadi suatu yang mungkin terjadi diilustrasikan oleh Bhabha dalam interpretasinya terhadap sekelompok orang-orang desa di luar kota Delhi pada tahun 1817. Para penduduk desa bertahan pada tradisi vegetarian meskipun mereka telah masuk Kristen, dikarenakan argumen bahwa mereka hanya layak menerima sakramen apabila mereka beriman pada hari akhir ( evangelical utterance) dan mereka yang beriman bukan muncul dari sekelompok orang pemakan daging (Bhabha, Sign Taken for Wonders, 1994:102). Bhabha menggambarkan situasi ini sebagai suatu perlawanan yang luar biasa, karena ketika penduduk lokal (native) menginginkan Gospel yang bersifat lokal ( an Indianised Gospel), mereka menggunakan unsur hibridity sebagai cara mempertahankan kekristenan mereka; yang ini diartikan sebagai suatu transformasi dari bentuk konversi yang mustahil menjadi niscaya. Dari konteks ini teori mengenai hibridity dipahami bukan hanya sebagai suatu peralihan dua wujud yanh menjadi suatu wujud baru, melainkan juga melahirkan bentuk-bentuk resistensi yang baru dan juga bentuk-bentuk negosiasi baru ( Spivak, sebagaimana yang dikutip dalam Bart Moore Gilbert, 1997). Melalui struktur agensi baru ini, relasi kekuasaan tidak lagi dikacamatai sebagai bentuk hegemoni lama di mana unsur budaya dominan secara represif memaksakan pengaruhnya secara total terhadap unsur budaya subordinan, karena relasi kekuasaan didalamnya bersifat dinamis sehingga kompetisi antara unsur-unsur kebudayaan memusatahilkan absolutisme dalam praktek kebudayaan.
Ambilavensi relasi dalam konteks postkolonialisme juga melahirkan bentuk-bentuk wacana mengenai “perbedaan” sebagai suatu medan bagi perjuangan identitas (a field of identity struggle). Perspektif postkolonial secara metodologis telah memungkinkan (enabling ) dikotomi kategori orientalis mengenai “majikan-budak (master-slaves), penjajah-yang dijajah (coloniser-colonised), kulit hitam-putih (white-black), mereka yang beradab-tidak beradab (civilsed-uncivilsed)” Kategori “ the other” yakni mereka yang marginal secara artikulatif merupakan fokus bagi analisis kritis ketika konteks modernitas lebih dimaknai sebagai wilayah pertentanagan bagi eksistensi kelompok marginal ( subaltern group). Spivak menggambarkan “subaltern group” sebagai orang-orang biasa yang jauh dari pusaran pertentangan wacana. Kepentingan artikulatif mereka senantiasa dimediasi dan diartikulasikan oleh kelompok-kelompok lain yang lebih dominan misalnya, kalangan intelektual (akademisi ), politisi, para administrator dan isntitusi lain (Spivak, Can the Subaltern speak?, 1988). Dalam studinya mengenai “disenfrancised women” ( Kaum wanita yang kehilangan suara/haknya) Spivak mengilustrasikan bahwa dalam sekelompok perempuan India “Sati”( yakni para janda yang mengorbankan dirinya melalui kematian/bunuh diri), seringkali diam dan tidak berdaya, tidak lain karena suara mereka tidak pernah diberdayakan. Dari situ, ada suatu mata rantai yang hilang ketika kepentingan artikulasi seringkali terdistorsi dan bahkan lenyap dari wacana dominan karena tergantikan oleh media artikulasi lain ( intelektual, institusi patriarkhis, administrator, politisi dan lain-lain) yang memiliki kepentingan kekuasaan terhadap kompetisi wacana dominan. Studi Spivak inilah yang kemudian menginisiasi wacana mengenai kritik postkolonial untuk “merekam suara mereka yang diam” ( to record the silence) sehingga “perbedaan”   (differences) memiliki ruang artikulasi bukan hanya untuk dipahami tetapi juga untuk diakui, pada konteks inilah perjuangan bagi identitas dimunculkan.

Lash Scott menulis:Dalam karya Hall, Hebdige dan McRobbie, budaya populer datang kedepan ... Apa yang Gramsci memberikan ini adalah pentingnya persetujuan dan budaya. Jika Marxis mendasar melihat kekuatan dalam hal kelas-kelas versus-, maka Gramsci memberikan kepada kita soal aliansi kelas. Munculnya kajian budaya itu sendiri didasarkan pada penurunan keunggulan mendasar kelas-versus-kelas politik [2].
Edgar dan Sedgwick menulis:
Teori hegemoni adalah penting pusat untuk pengembangan kajian budaya Inggris [khususnya CCCS]. Ini memfasilitasi analisis dari cara di mana kelompok subordinat aktif melawan dan menanggapi dominasi politik dan ekonomi. Kelompok-kelompok bawahan yang dibutuhkan tidak perlu dipandang sebagai dupes pasif dari kelas dominan dan ideologi. [3]
Ini garis pemikiran membuka lembaga kerja berbuah menjelajahi, pandangan teoritis yang dimasukkan kembali, kapasitas aktif kritis terhadap semua orang. [Rujukan?] Pengertian badan telah dilengkapi banyak penekanan ilmiah tentang kelompok orang (misalnya kelas pekerja, primitif, terjajah masyarakat, perempuan) yang politik kesadaran dan ruang lingkup aksi pada umumnya terbatas pada posisi mereka dalam struktur ekonomi dan politik tertentu. [rujukan?] [riset asli?] Dengan kata lain, banyak ekonom, sosiolog, ilmuwan politik dan sejarawan secara tradisional gagal mengakui bahwa orang-orang biasa memang berperan dalam membentuk dunia mereka atau outlook. Meskipun antropolog sejak 1960-an telah dilatardepankan kekuatan agen untuk struktur kontes, pertama dalam karya transactionalists seperti Fredrik Barth dan kemudian dalam karya terinspirasi oleh teori resistensi dan pasca-kolonial teori. [Rujukan?] [Riset asli?]
Pada kali, asmara cultural studies 'dengan gagasan badan hampir mengecualikan kemungkinan penindasan, mengabaikan fakta bahwa subaltern memiliki politik mereka sendiri, dan romanticizes lembaga, melebih-lebihkan potensi dan kegunaan. [Rujukan?] [Riset asli?] Populer pada 1990-an, banyak budaya studi sarjana menemukan cara-cara kreatif konsumen menggunakan dan menghancurkan komoditas dan ideologi yang dominan. [rujukan?] Orientasi ini telah datang di bawah api untuk berbagai alasan. [rujukan?]
Kajian budaya kekhawatiran itu sendiri dengan makna dan praktek kehidupan sehari-hari. Praktek-praktek budaya terdiri dari cara orang melakukan hal-hal tertentu, seperti menonton televisi atau makan di luar, dalam budaya tertentu. Dalam setiap praktek yang diberikan, orang menggunakan berbagai objek (asiPods atau salib). Oleh karena itu, bidang ini mempelajari makna dan menggunakan atribut masyarakat untuk berbagai benda dan praktek. Baru-baru ini, ascapitalism telah menyebar ke seluruh dunia (suatu proses yang berhubungan dengan globalisasi), studi budaya telah mulai menganalisis bentuk-bentuk lokal dan global perlawanan terhadap hegemoni Barat. [Rujukan?]
Pergerakan menuju globalisasi di dunia kita berfungsi sebagai alasan penting untuk memeriksa Cultural Studies. Menurut Richard Longworth, penulis "Tertangkap di Tengah: Heartland Amerika di Era Globalisasi," itu baru saja dimulai. Kita sekarang dalam tahap re-penemuan bukannya industrialisasi. Dalam 20 tahun terakhir, teknologi komunikasi telah membuat ini mungkin dan telah bergerak sangat cepat [4]. Karena kita meningkat di seluruh dunia komunikasi, globalisasi memiliki efek besar pada bagaimana kita melihat Cultural Studies karena kita terus-menerus terkena ideologi media massa. Selain itu, kebudayaan manusia itu sendiri menjadi lebih bersatu sebagai akibat dari globalisasi. Misalnya, Stuart Hall telah berupaya untuk menggabungkan daerah topik banyak studi, seperti hubungan interpersonal dan pengaruh dari media. Dia percaya kita harus mempelajari suasana pemersatu di mana mereka semua terjadi dan dari mana mereka berasal-kebudayaan manusia [5] ini budaya manusia mulai menjadi lebih dan lebih bersatu sendiri karena globalisasi dan karena itu dapat diperiksa lebih lanjut melalui Cultural Studies. .

0 komentar:

Posting Komentar

Akan bijak bila memberi komentar bukan spam

PONPES SHIDIQIIN WARA` PURWOJATI

Sholawat_Badar-Puput_Novel-TOPGAN

Blogger templates

href="http://www.yayasangurungajiindonesia.com" ' rel='canonical'/>>

Adsendiri

Pasang Iklan Disini

adsend

Pasang Iklan Disini

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls