Rabu, 08 April 2015

Arah Pendampingan Desa

ARAH PENDAMPINGAN DESA
APBN 2015 telah ditetapkan melalui paripurna DPR pada 29 September 2014. Bagi kalangan pegiat pemberdayaan desa, penetapan APBN 2015 menjadi jawaban pasti atas perdebatan dan silang sengkarut mengenai besaran alokasi dana desa maupun keberlanjutan PNPM.
Dalam APBN 2015, dana desa yang bersumber dari APBN ditetapkan sebesar 9,1 Triliun. Besaran dana desa itu berasal dari realokasi anggaran PNPM di Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Keuangan sendiri juga sudah menetapkan rincian alokasi dana desa per kabupaten.
Meski demikian, kemungkinan besar APBN akan dilakukan perubahan lebih cepat pasca pelantikan Presiden terpilih, Jokowi, pada 20 Oktober2014 nanti. Berdasarkan pemberitaan media akhir-akhir ini, perubahan utama yang akan dilakukan pada APBN setidaknya terkait dengan review alokasi subsidi BBM dan dana desa. Subsidi BBM dikurangi dan otomatis harga BBM naik, sedangkan alokasi dana desa akan ditingkatkan secara signifikan dari alokasi sebelumnya.
Pada perubahan nanti, alokasi BLM PNPM kemungkinan kecil akan mendapat alokasi dari APBN-P 2015. Hal ini sejalan dengan implementasi UU Desa, dimana meminjam istilah Budiman Sujatmiko, UU Desa adalah PNPM plus. Keberhasilan PNPM telah menjadikan para pengambil kebijakan untuk melembagakannya melalui undang-undang ini. Alhasil, meneruskan PNPM di tengah implementasi UU Desa justru akan menjadi tumpang tindih dan tidak efektif.
Kunci Sukses Pendampingan PNPM.
Komponen penting yang menjadi kunci sukses PNPM, salah satunya adalah efektifitas pengelolaan pendampingan. Fasilitator PNPM dikelola oleh Kemendagri melalui SOP yang sangat tegas dan terstandard. Tidak sedikit fasilitator yang di PHK karena terbukti melanggar kode etik. Meskipun hal-hal teknis dilimpahkan (dekonsentrasi) kepada Bapemas Provinsi, namun hal-hal strategis tetap tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan pusat.
Alhasil, meski lokasi tugas fasilitator ada ditingkat kecamatan, namun ia menjadi kepanjangan tangan bagi pemerintah pusat. Posisi seperti inilah yang menjadikan fasilitator mampu membebaskan diri dari intervensi birokrasi, baik ditingkat kabupaten maupun birokrasi kecamatan.
"Fasilitator itu asset program yang digaji dari APBN, bukan Pegawai Bapemas, apalagi anak buah camat" demikian kalimat yang disering terlontar dari para fasilitator untuk menangkal intervensi birokrasi lokal.
Sukses program lepas dari intervensi aparat birokrasi lokal, oleh pihak-pihak tertentu, sering diputarbalikkan dengan memunculkan stigma yang mendiskreditkan, seperti "PNPM membuat negara sendiri", "PNPM berdiri sendiri", "PNPM tidak melibatkan birokrasi" dan berbagai sebutan lainnya. Meskipun kenyatannya tidak demikian, namun fasilitator pasti memahami suasana batin mereka yang menyampaikan perkataan seperti itu.
Mengawal UU Desa.
Seiringan ditepatkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, issue pendampingan desa juga semakin santer diperbincangkan kalangan fasilitator pemberdayaan masyarakat (FMP), utamanya Fasilitator PNPM. Hal ini wajar karena salah satu misi UU Desa, sebagaimana tersirat dalam pertimbangan, adalah untuk melindungi, menguatkan dan memberdayakan desa agar lebih maju, mandiri dan demokratis.
Semangat pemberdayaan sangat mewarnai UU Desa. Setidaknya terdapat 24 kata pemberdayaan dan puluhan kata yang semakna menjejali uu desa ini. Sedangkan pendampingan selalu melekat sebagai salah satu strategi dalam pemberdayaan.
Disamping itu, kucuran dana desa yang begitu besar akan sangat berbahaya jika tanpa adanya program pendampingan yang mengawalnya. Banyak pihak yang meragukan profesionalitas dan integritas aparat desa dalam mengelola dana desa ini. Atas keraguan itu, baik dari LSM, akademisi maupun DPR hingga Bank Dunia merekomendasikan adanya pendampingan seiring implementasi UU Desa yang berbasis pemberdayaan ini.
Pasal 1 UU Desa menegaskan Istilah pemberdayaan masyarakat desa sebagai upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
Konsepsi pendampingan desa ini, lebih lanjut dijabarkan dalam PP 43 / 2014 Tentang Peraturan pelaksana UU Desa pasal 128 - 131 dengan sub paragraf Pendampingan Masyarakat Desa. Hal-hal baru yang diatur dalam pasal pendampingan antara lain.
Pertama: Tugas pendampingan menjadi tugas dari jenjang pemerintah disemua level, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi hingga pemerintah kabupaten (pasal 128 ayat 1). Namun pendampingan langsung / pendampingan teknis hanya menjadi tugas SKPD kabupaten sebagai wilayah otonom terdekat dengan desa (pasal 128 ayat 2). Camat sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten, bertugas mengkoordinasikan pendampingan masyarakat desa di wilayah kerjanya (pasal 128 ayat 3).
Dengan demikian, jika sebelumnya makna pendampingan identik dengan tugas dari tenaga pendamping profesional / fasilitator, maka sekarang pendampingan masyarakat desa menjadi tugas dari pemerintah disemua level. Dalam menjalankan tugas pendampingan, aparatur pemerintah tentu juga memposisikan diri sebagai fasilitator. Istilah fasilitator kemudian mengalami perluasan makna, tidak hanya menjadi monopoli kalangan FPM.
Kedua: Fasilitator pemberdayaan masyarakat (FPM) dipertegas sebutannya sebagai tenaga pendamping profesional yang terbagi atas pendamping desa, pendamping teknis dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat. Tidak disebut sebagai fasilitator, karena fungsi fasilitator bisa diperankan siapa saja termasuk pemerintah.
Tenaga pendamping profesional bertugas membantu peran pendampingan masyarakat desa yang menjadi tugas dari pemerintah. Jika ternyata pemerintah melalui SKPD, dinilai sudah mampu -dari sisi kualitas dan kuantitas- memposisikan diri sebagai fasilitator, maka keberadaan tenaga pendamping profesional ini tidak diperlukan lagi.
Ketiga: Tenaga Pendamping Profesional yang boleh direkrut untuk membantu tugas pendampingan masyarakat desa hanyalah mereka yang memiliki sertifikasi kompetensi. Saat ini satu-satunya lembaga sertifikasi profesi itu adalah LSP-FPM yang berdiri atas prakarsa asosiasi profesi, pemerintah dan perguruan tinggi. Sayangnya Tempat Uji Kompetensi (TUK) LSP ini masih sangat terbatas.
Keempat: Istilah Pendamping desa bukanlah dimaksudkan untuk membatasi wilayah tugas pendamping, melainkan sebagai sebutan bagi pendamping yang direkrut untuk mengawal implementasi UU Desa. Pendamping dilevel desa tetap dipegang oleh KPMD.
Dengan demikian, dalam satu kecamatan bisa saja hanya akan ada 2 orang pendamping desa atau menyesuaikan dengan jumlah desa dalam kecamatan terkait. Bukan setiap desa harus ada pendamping desa. Jika ada asumsi bahwa pendamping desa itu hanya mendampingi satu desa, tentu akan tumpang tindih dengan tugas KPMD.
Sedangkan pendamping teknis adalah pendamping yang secara khusus bertugas mendampingi desa dalam kaitannya pelaksanaan program yang menjadikan desa sebagai sasarannya. Contoh PNPM.
Kelima: Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten punya hak mengadakan tenaga pendamping profesional. Hak ini, dalam pelaksanaannya tentu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan yang dimiliki.
Jika yang melakukan rekrutmen pendamping adalah pemerintah, maka biaya pengadaan dan penggajian pendamping berasal dari dipa kementerian. Demikian juga provinsi dan kabupaten, maka dipa berasal dari anggaran SKPD terkait.
Sedangkan dana desa hanya bisa dipakai untuk melakukan pengadaan dan operasional dari KPMD. Pendamping desa atau pendamping teknis tidak bisa digaji dari APBDesa, melainkan dari APBN atau APBD.
Keenam: Kementerian Dalam Negeri berkewajiban menyusun Pedoman pendampingan desa sebagai SOP pengelolaan pendamping yang akan dipakai oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengelola tenaga pendamping profesional.
Pendamping Teknis vs Pendamping Desa.
UU Desa tidak hanya melembagakan kebiasaan baik di PNPM, namun lebih dari itu, UU Desa telah melampaui apa yang selama ini ada di PNPM. Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas diformalkan dengan lebih apik.
PP 43 / 2014, Pasal 126 ayat 1 merumuskan tujuan Pemberdayaan masyarakat Desa adalah untuk memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Dengan tujuan seperti itu, pendamping desa akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan pendamping teknis.
Pendamping teknis seperti Fasilitator PNPM, selama ini hanya bersinggungan dengan sisi luar aktifitas pemerintahan desa. Penyusunan perencanaan pembangunan desa hanya selesai sampai tahap formalisasi RPJMDesa dan RKPDesa. Sampai disini, PNPM dan desa berjalan sendiri-sendiri. Tidak pernah ada singkronisasi rencana kerja anggaran pembangunan desa melalui APBDes.
Pada saat selesai penganggaran di MAD Penetapan Usulan, Fasilitator PNPM juga hanya fokus pd kegiatan yang didanai PNPM. Begitu juga pemantauan Tim Monitoring juga hanya fokus pada kegiatan PNPM. Tidak pernah ada pengawasan terpadu atas pelaksanaan pembangunan di desa. Fasilitator PNPM memang tidak bisa masuk terlalu jauh ke dalam sistem pemerintahan desa karena itu tidak diperintahkan PTO.
Konsep integrasi juga hanya sampai pada dokumen RPJMDesa dan RKPDesa. Upaya mengawal penyusunan APBDesa seperti mengorek sumber dan besaran pendapatan desa seperti mencari masalah, apalagi mempertanyakan alokasi hingga penggunaanya. Tindakan seperti itu bagi Fasilitator PNPM akan dianggap telah mengobok-obok desa. Begitulah keterbatasan wewenang pendamping teknis. Berbeda dengan pendamping desa.
Pada saatnya nanti, pendamping desa akan jauh melampaui Fasilitator PNPM. Mereka nantinya harus masuk lebih jauh kedalam tatakelola pemerintahan desa. Memastikan pemerintah desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan dan komponen desa lainnya, mengambil peran secara maksimal dalam kerangka pemberdayaan masyarakat.
Pasal 127 PP 43 / 2014 memberikan arahan lebih detail. Pendamping desa harus mengawal penyusunan perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal;
Jika Pendamping PNPM hanya fokus pada penganggaran BLM saja, maka pendamping desa harus mengawal konsolidasi keuangan desa melalui APBDesa. Sumber pendapatan desa, mulai dari PADesa, ADD dari APBN, ADD dari APBD, bagi hasil pajak dan retribusi, serta berbagai sumber pendapatan lainnya harus dikelola secara transparan dan akuntabel melalui APBDesa.
Bukan hanya memastikan pembangunan desa dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, namun juga penyelenggaraan pemerintahan desa juga harus demikian. Lebih dari itu, juga harus dikembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas tata pemerintahan desa. Terkait dengan semangat ini, komunitas Gerakan Desa Membangun (GDM) telah mengawali aksi dengan meluncurkan domain desa.id yang arahnya menjadi media transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa.
Terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, Pasal 86 UU Desa mengamanatkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan, meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.
Sistem informasi Desa dikelola oleh Pemerintah Desa dan harus memberikan akses kepada masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan. Dalam jangka panjang, penerapan teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menjadi pintu masuk bagi penerapan e audit dana desa.
Pendamping desa juga memegang peran penting dalam mendorong pendayagunaan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat. Bukan tugas yang mudah, karena selama ini dibanyak tempat, lembaga kemasyarakatan seakan hanya lembaga papan nama saja. Kondisi ini terjadi karena memang lembaga kemasyarakatan di desa tidak pernah mendapat sentuhan. Di PNPM Perdesaan, LPM, salah satu lembaga kemasyarakatan ini baru disentuh setelah konsep integrasi digaungkan pada awal 2011.
Dalam menguatkan lembaga kemasyarakatan ini, Pasal 98 UU Desa menegaskan, Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.
Tidak kalah penting, pendamping desa juga dituntut mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawarah Desa. Kebijakan-kebijakan strategis yang berkaitan dengan desa, utamanya pengelolaan pembangunan desa, harus dipertanggungjawabkan melalui musyawarah desa.
Selanjutnya, Pendamping desa juga bertugas mendorong pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan desa dan pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa. Pengawasan secara kelembagaan menjadi tugas utama BPD dan secara partisipatif menjadi hak dan kewajiban masyarakat desa. Karena itu mendorong penguatan fungsi BPD
UU Desa Pasal 61, BPD berhak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan desa kepada Pemerintah Desa. BPD juga berhak menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Hak-hak inilah yang harus dikuatkan oleh pendamping desa.
Kepala desa memang pemegang kuasa atas pengelolaan keuangan desa, namun UU Desa juga memberi ruang kepada BPD untuk terus terlibat dalam pengambilan keputusan strategis. RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa adalah dokumen strategis yang ditetapkan dengan melibatkan BPD.
Jika sebelumnya, di PNPM, masyarakat dididik mengawasi pelaksanaan kegiatan melalui kelembagaan program yang bernama Tim Monitoring, kemudian dikembangkan menjadi konsep CBM, maka UU Desa mengembangkan konsep Community Based Monitoring (CBM) meluas ke ranah penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pada tahap selanjutnya, pendamping desa bahkan dituntut untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat desa akan hak dan kewajibannya sebagai warga desa. Pada tahap ini, pendamping desa harus memerankan diri sebagai community organizer yang harus jeli membaca fenomena hubungan sosial antar kelembagaan dan masyarakat.
Untuk itulah, UU Desa Pasal 68 merinci hak Masyarakat Desa antara lain:
a. meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil;
c. menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, masyarakat Desa; dan pemberdayaan
d. memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi: 1. Kepala Desa; 2. perangkat Desa; 3. anggota Badan Permusyawaratan Desa; atau 4. anggota lembaga kemasyarakatan Desa. e. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa.
Kemudian Masyarakat Desa juga berkewajiban:
a. membangun diri dan memelihara lingkungan Desa;
b. mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik;
c. mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa;
d. memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di Desa; dan
e. berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.
Sejalan dengan penguatan kelembagaan dan penyadaran masyarakat desa, paradigma pemerintah desa juga harus dirubah. Dominasi pemerintah desa yang terlalu kuat dalam hubungannya dengan kelembagaan desa, harus mulai ditata ulang. Kita tahu, salah satu kompenen yang mendesakkan aspirasi dana desa dari APBN adalah Asosiasi Kepala Desa (AKD), karena itu jangan sampai UU Desa hanya dipahami dana desanya saja. Pemerintah desa harus memahami bahwa essensi pengaturan desa sebagaimana pasal 4 UU Desa adalah membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.
Itulah sekilas tantangan kerja-kerja pendampingan era UU Desa. Dibutuhkan tidak hanya sekedar ketrampilan teknis fasilitasi, melainkan juga kemampuan membaca hubungan sosial yang terbingkai dalam kesatuan masyarakat hukum yang bernama desa. Jika Pendamping Teknis mendasarkan aktifitas pendampingannya pada aturan program, maka pendamping desa mengorganisasikan pendampingan masyarakat desa berdasarkan UU Desa dan peraturan pelaksananya.
Mengutip arahan Direktur Usaha Ekonomi Masyarakat, Ditjen PMD, Kemendagri, Bito Wikantosa, implementasi UU Desa menuntut pembaharuan konsep pendampingan dari model pendamping teknis Community Sriven Development (CCD), menjadi paradigma pendamping desa Village Driven Development (VDD).
Saran Bito Wikantosa, Fasilitator PNPM, sebagai pendamping teknis, harus segera mengambil langkah-langkah menyongsong pendampingan desa dengan Menambah ketrampilan diri untuk mampu mendampingi Desa dalam kerangka kerja VDD, mereorientasi diri dari pekerja proyek yang taat menjalankan PTO menjadi community organizer yang secara kreatif memfasilitasi Desa tumbuh menjadi kesatuan masyarakat hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Mengubah sikap diri dari pekerja proyek yang berada dalam pusaran kekuasaan jalur fungsional menjadi Pemberdaya Masyarakat yang Mandiri dan Berpikir Kritis-Kontekstual serta memanfaatkan waktu yang terbatas dalam skala kerja PNPM Mandiri Perdesaan untuk melakukan Pembaharuan Diri.
Rabiah Adawiyah
sumberhttps://www.facebook.com/permalink.php?id=357520247601217&story_fbid=860132170673353

0 komentar:

Posting Komentar

Akan bijak bila memberi komentar bukan spam

PONPES SHIDIQIIN WARA` PURWOJATI

Sholawat_Badar-Puput_Novel-TOPGAN

Blogger templates

href="http://www.yayasangurungajiindonesia.com" ' rel='canonical'/>>

Adsendiri

Pasang Iklan Disini

adsend

Pasang Iklan Disini

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls