Supervisi Pendidikan Dalam Peningkatan Mutu Guru
Masyarakat telah mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik anak-anak bangsa dan membantu mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai, tidak hanya pada tataran normatif saja namun juga menyangkut pengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, professional maupun sosial dalam ranah aktualisasi kebijakan pendidikan.
Memang guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain mulai dari kurikulum, sarana prasarana dan sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dan peserta didik tidak berkualitas. Semua komponen lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru (Surya Dharma, 2008:48).
Guru dalam jenjang pendidikan manapun mulai dari TK, SD, SLTP dan SLTA memiliki peran sangat penting dan strategis dalam merencanakan, menyiapkan, menyelenggarakan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Memang, sebagai agen pembelajaran dan pengembang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta sebagai pengabdi kepada masyarakat guru bersentuhandengan para peserta didik hanya dalam beberapa jam saja dalam sehari, tetapi itu mempunyai dampak pembinaan kejiwaan dan intelektualitas yang sangat mempengaruhi kepribadian mereka. Bila guru benar-benar melaksanakan tugas dan fungsinya dengan kualitas sebagai pendidik (bukan hanya sebagai pengajar) maka pendidikan di sekolah akan menjadi titik awal bagi pembuka cakrawala baru bagi para peserta didik, dan ini merupakan modal yang sangat penting dan menentukan bagi perkembangan kejiwaan dan intelektual mereka (Ali Rohmad, 2005:35).
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.
Peningkatan mutu dan profesionalisme guru dalam kinerjanya sangat berkaitan erat dengan efektifitas pelayanan supervisi. Maka diharapkan (menjadi keharusan) kegiatan supervisi hendaknya mampu mendorong guru untuk meningkatkan kualitasnya dalam berbagai kompetensi baik kompetensi pedagogik, kepribadian, professional maupun sosialnya sebagaimana disebutkan di atas.
Kompetensi yang Harus Dimiliki Guru
Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dijelaskan bahwa kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas profesinya (www.bloggermajalengka.com).
Dari gambaran pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
Banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang kompetensi yang seharusnya dikuasai oleh guru. Cooper mengemukakan bahwa guru harus memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajaran, menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan mengevaluasi hasil belajar.
Lebih lanjut UU No. 14 tahun 2005 mengemukakan kompetensi yang harus dikuasai seorang guru profesional meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetesi sosial dan kompetensi kepribadian.
Kompetensi pedagogik pada dasarnya adalah kemampuan yang harus dimiliki guru dalam mengajarkan materi tertentu kepada siswanya, meliputi: memahami karakteristik peserta didik dari berbagai aspek, sosial, moral, kultural, emosional dan intelektual; memahami gaya belajar dan kesulitan belajar peserta didik; memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik; menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik; mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran; merancang pembelajaran yang mendidik; melaksanakan pembelajaran yang mendidik; memahami latar belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks kebhinekaan budaya serta mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
Kompetensi profesional menyangkut kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Diharapkan guru menguasai substansi bidang studi dan metodologi keilmuannya, menguasai struktur dan materi kurikulum bidang studi, mengorganisasikan materi kurikulum bidang studi, menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran, meningkatkan kualitas pembelajaran melalui evaluasi dan penelitian.
Kompetensi sosial menyangkut kemampuan guru dalam komunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali dan masyarakat. Diharapkan guru dapat berkomunikasi secara simpatik dan empatik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan dan masyarakat, serta memiliki kontribusi terhadap perkembangan siswa, sekolah dan masyarakat, dan dapat memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk berkomunikasi dan pengembangan diri.
Sedangkan kompetensi kepribadian mengarah kepada kepribadian seorang guru harus mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, serta berakhlak mulia sehingga menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat serta mampu mengevaluasi kinerja sendiri (tindakan reflektif) dan mampu mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Namun jika dipadukan dan disederhanakan, kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penguasaan terhadap proses belajar mengajar.
2. Penguasaan terhadap evaluasi belajar.
3. Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai profesional.
4. Penguasaan tentang wawasan pendidikan.
5. Penguasaan bahan ajar.
Guru Profesional
Undang Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Arti kata profesionalisme dapat dirunut dari makna kata profesi (profession). Profesi pada hakekatnya adalah suatu pernyataan atau janji terbuka dari seseorang (to profess artinya menyatakan) bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu karya, kerja, jabatan dan atau pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat dan menggeluti pekerjaan itu dengan segala konsekuensinya. (Arena Almamater, 1997: 53).
Selanjutnya menurut (Chandler, 1960), sebagaimana dinukil R. Kunjana Rahardi, hal-hal yang berkenaan dengan profesi dapat diungkapkan sebagai berikut:
1. Menunjukkan bahwa orang yang memegang profesi itu hendaknya lebih mementingkan layanan kemanusiaan daripada kepentingan pribadinya. Dasar untuk ciri yang pertama ini adalah sikap altruistik dari seseorang. Dengan demikian semakin orang itu bersifat egois apalagi egois itu cenderung sempit, akan semakin sulitlah orang itu untuk menjadi profesional dalam hidupnya. Dikatakan demikian karena orang yang tidak memiliki jiwa altruistik (mementingkan orang lain) akan cenderung untuk menganggap dirinyalah yang lebih dari yang lainnya. Orang yang demikian ini cenderung tidak memiliki sikap positif terhadap sesuatu.
2. Masyarakat mengakui bahwa profesi itu mempunyai status yang tinggi. (Harbison, 1962) dalam Human Resource Development Planing in Modernizing Economies menyebut bahwa orang yang yang berprofesi itu sebagai high-level manpower. High-level manpower itu dapat dibedakan menjadi dua yaknikelompok yang ia sebut sebagai sub-professional (pegawai kantor, sekretaris, guru, dosen) dan kelompok full-professional (dokter, ekonom, ilmuwan). Kedua golongan yang telah disebutkan itu, semuanya memegang sebuah profesi dalam bidangnya masing-masing dan profesi yang dipegang tersebut berstatus baik dalam suatu masyarakat.
3. Praktek pofesi itu didasari oleh penguasaan dan penghayatan terhadap pengetahuan yang secara khusus dan penuh ketekunan. Pengetahuan yang pada gilirannya akan menjadi sebuah ilmu pengetahuan itu, sumbernya harus nyata, jelas dan mapan. Praktek kerja tukang sihir, tukang klenik dan tukang santet, tidak dapat dikategorikan sebagai suatu profesi dalam pembicaraan ilmiah. Dikatakan demikian karena syarat ketiga agar suatu kerja dapat disebut sebagai suatu profesi tidak dapat dipenuhi oleh tukang sihir, tukang klenik maupun tukang santet.
4. Profesi itu selalu bersifat menantang orang-orang yang terlibat di dalamnya agar memiliki keaktifan intelektual dan keahlian/kemahiran. Adanya kreatifitas intelektual dan kemahiran itu merupakan salah satu ciri mendasar bagi si pemegang profesi. Sehubungan dengan ciri yang keempat ini dapat disampaikan bahwa si pemegang profesi hendaknya memiliki sifat aktif, proaktif (tidak menunggu), kreatif (ada inovasi dalam hidupnya). Dalam sebuah profesi selalu perlu diupayakan apa yang disebut dengan istilah pertumbuhan profesi (professional growth) sebagai salah satu bentuk kreativitas intelektual/kemahiran. Kelompok orang profesional itu biasanya suka membentuk kelompok-kelompok profesional dalam bidangnya masing-masing utnuk membentuk masyarakat intelektual professional (intelectual society) dan melakukan kegiatan latihan-latihan intelektual (intelectual exercises) untuk mengembangkan keprofesionalannya. Inilah dasar dari terbentuknya ikatan-ikatan profesional seperti Ikatan Dokter, Ikatan Sekretaris, Ikatan Perawat dan sebagainya. Dalam sebuah ikatan biasanya solidaritas antar anggota terjalin sangat kuat.
5. Adanya moral atau etika serta perilaku dan tindak-tanduk, baik dari individu maupun kelompok profesional itu. Orang profesional akan selalu mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etis dalam menjalankan profesinya. Terjadinya banyak kasus pelecehan profesi disebabkan karena pemegang profesi itu tidak lagi memegang dan mengimani ciri profesi yang kelima ini.
Dari pengertian dan ciri-ciri profesidi atas dapat diturunkan kata profesional, yang berarti bersifat seperti terkandung dalam ciri-ciri profesi itu, dan kata profesionalitas yang berarti upaya (proses) menuju ke arah kepemilikan ciri-ciri profesi baik dilakukan secara individual maupun secara kelompok. Manakala arah kepemilikan ciri-ciri profesi itu menjangkau kelompok orang dalam jumlah besar, maka profesi itu sudah membentuk suatu macam aliran tertentu (-isme), maka muncullah istilah profesionalisme.
Profesionalisme menjadi tuntutan setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani makhluk hidup bernama siswa (baca: peserta didik) dengan berbagai karakteristik yang masing-masing individu berbeda. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Guru profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Mendidik memiliki makna luas dan dalam. Mendidik tidak hanya diartikan sebagai mengajar. Mengajar hanya pada sebatas penyampaian materi pelajaran dalam target tertentu. Sedangkan guru profesional harus memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum(Wikiberita.NET, News and Discussion Journal).
Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Sedangkan yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan kependidikan seperti yang tercantum dalam kompetensi guru yang profesional.
Semua guru sebenarnya memiliki komitmen yang sama ingin mencerdaskan anak bangsa. Dewasa ini image seorang guru dimata masyarakat bergeser bahwa guru pada masa kini tidak lagi memiliki pengabdian tinggi di dunia pendidikan seperti masa-masa lalu, yang benar-benar ingin mengabdikan hidupnya untuk mendidik biarpun tanpa imbalan yang layak, tapi guru adalah sebuah profesi yang dihargai sebagai layaknya sebuahprofesi. Syarat sebagai guru profesionalmemang merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru. Guru profesional merupakan impian semua guru (di Indonesia). Untuk menjadi seorang guru profesional tidaklah sulit, karena profesionalnya seorang guru datang dari guru itu sendiri.
Di Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadershipedisi Maret 1983 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2. Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
4. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks aplikatif, kemampuan profesional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yaitu:
1. Menguasai materi, meliputi: menguasai materi bidang studi dalam kurikulum serta menguasai materi pengayaan/penunjang bidang studi.
2. Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: merumuskan tujuan pembelajaran, mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, melaksanakan program belajar-mengajar serta mengenal kemampuan anak didik.
3. Mengelola kelas, meliputi: mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran serta menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4. Menggunakan media atau sumber, meliputi: mengenal, memilih dan menggunakan media, membuat alat bantu yang sederhana, menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar serta menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5. Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6. Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8. Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling serta menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata,1997:4-5).
Supervisi Pendidikan sebagai Sarana Pembinaan Profesi
Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu sendiri (semantik).
Secara etimologi istilah supervisi diambil dari perkataan bahasa Inggris “supervision” yang artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.Secara morfologi supervisi terdiri dari dua kata super berarti atas atau lebih dan visiberarti lihat, tilik atau awasi. Seorang supervisor memang memiliki posisi di atas atau mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada orang yang disupervisi.Sedangkan secara semantik kata supervisi pada hakekatnya merupakan isi yang terkandung dalam definisi yang rumusannya tergantung dari orang yang mendefinisikannya. Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik.Supervisi juga diartikan sebagai segenap bantuan yang diberikan oleh seseorang dalam mengembangkan situasi belajar mengajar di sekolah ke arah yang lebih baik (Burhanudin, 2007:1). Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi pendidikan mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Karena aspek utama dalam supervisi adalah guru maka layanan dan aktifitas supervisi harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar.
Dari uraian diatas dapat diambil garis lurus tentang pengertian supervisi yaitu serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor (pengawas sekolah, kepala sekolah dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru itu sendiri maka pembinaan itu lebih diarahkan pada pembinaan profesional guru yakni pembinaan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.
Supervisi merupakan istilah baru yang muncul kurang lebih dua dasawarsa terakhir ini. Dahulu istilah yang sering digunakan di sekolah adalah “pengawasan”atau “pemeriksaan” (Suharsimi Arikunto, 2004:2). Makanya seringkali hubungan antara guru dengan supervisor dianggap sebagai hubungan yang membahayakan dan saling mengancam. Hal ini benar apabila pertanyaan-pertanyaan yang digunakan bersifat mengorek kesalahan-kesalahan saja dan bersifat inspektif. Cara-cara ini digunakan oleh supervisor konvensional yang mewarisi cara lama dengan kebiasaan bersifat inspektif dan korektif. Supervisi modern perlu pendekatan manusiawi dalam melaksanakan program supervisi pendidikan (Kunandar, 2007:104).
Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi yanglebih menekankan pada kekuasaan dan bersifat otoriter.Sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis. Tujuan supervisi modern adalah mendalami kebutuhan guru secara individual, membantu mereka secara individual pula, meneliti sistem yang digunakan serta meneliti sarana dan prasarana sekolah. Hasil dari pendalaman dan penelitian tersebut dijadikan sebagai bahan masukan bagi supervisor dalam rangka memberikan atau mengadakan perbaikan di kemudian hari. Dengan demikian supervisor benar-benar membantu menanggapi peningkatan usaha sekolah secara menyeluruh.
Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek guru menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional. Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Pada kenyataannya memang masih sangat banyak guru yang kurang profesional, seperti yang diungkapkan bahwa dalam praktek pendidikan sehari-hari masih banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan dalam menunaikan tugas dan fungsinya. Kesalahan-kesalahan seringkali tidak disadari oleh para guru, bahkan masih banyak diantaranya yang menganggap hal biasa dan wajar (E. Mulyasa, 2005:10).
Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data dan fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut perlu dilakukan karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Dalam kegiatan supervisi pendidikan, ada dua supervisi pengajaran, yakni:
1. Supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru. Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru.
2. Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja. Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja guruadalah penyusunan program semester, penyusunan rencana pembelajaran, penyusunan rencana harian, program dan pelaksanaan evaluasi, kumpulan soal, buku pekerjaan siswa, buku daftar nilai, buku analisis hasil evaluasi, buku program perbaikan dan pengayaan, buku program Bimbingan dan Konseling serta buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler.
Dalam melaksanakan program supervisi ini sudah pasti diperlukan adanya evaluasi yang baik yaitu evaluasi yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip obyektif, kooperatif, integral dan kontinyu (E. Mulyasa, 2005:134). Evaluasi program supervisi pendidikan bukan berarti mengevaluasi suatu rencana program supervisi pendidikan, melainkan berusaha menentukan sampai sejauh mana pelaksanaan supervisi pendidikan sudah tercapai. Dengan kata lain evaluasi supervisi pendidikan menyangkut semua komponen yang terkait dengan pelaksanaan supervisi pendidikan meliputi aspek personal dan material serta aspek operasional dan hasil supervisi pendidikan.
Kesimpulan
Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek guru. Kepercayaan, keyakinan dan penerimaan masyarakat terhadap guru merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai, tidak hanya pada tataran normatif saja namun juga menyangkut pengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, professional maupun sosial dalam ranah aktualisasi kebijakan pendidikan.
Guru profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Guru profesional harus memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.
Usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional sangat diperlukan guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar yang dilakukan oleh guru. Bantuan profesional kepada guru tersebut paling tepat adalah dalam bentuk layanan supervisi. Kegiatan supervisi dilakukan secara menyeluruh baik oleh kepala sekolah maupun pengawas sekolah secara rutin, terjadwal serta berkesinambungan sehingga hasilnya benar-benar dapat memberikan masukan untuk perbaikan kinerja guru bersangkutan.
Mengingat ruang lingkup supervisi pendidikan sangat luas dan hasil pelaksanaan supervisi tidak dapat diukur dan dilihat dalam waktu singkat, maka perlu adanya evaluasi terhadap program supervisi pendidikan itu sendiri. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip obyektif, kooperatif, integral dan kontinyu. Evaluasi supervisi pendidikan dilakukan untuk menentukan sejauh mana pelaksanaan supervisi pendidikan sudah tercapai. Maka jelaslah bahwa supervisi pendidikan merupakan satu-satunya sarana representatif yang dapat dijadikan sarana pembinaan dan evaluasi terhadap profesionalisme guru.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Supervisi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Burhanuddin, Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep Pendekatan dan Penerapan Pembinaan Profesional, Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, 2007.
Dharma, Surya, Penilaian Kinerja Guru, Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen PMPTK, 2008.
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Harbison, F.H., Human Resource Development Planing in Modernizing di dalam International Labor Review, 1962.
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Purwadarminta,WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Rahardi, R. Kunjana, “Profesionalisme: Tuntutan Era Globalisasi”, Arena Almamater, No. 42 Tahun XII, Januari – Maret 1997.
Rohmad, Ali, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Bina Ilmu, 2005.
Sahertian, Piet A., Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1999.
Suryasubrata, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
0 komentar:
Posting Komentar
Akan bijak bila memberi komentar bukan spam